100 Hari Pemerintahan dan Paradoks Janji Politik Kepala Daerah

100 Hari Pemerintahan dan Paradoks Janji Politik Kepala Daerah


Tidak terasa, pemerintahan kepala daerah hasil Pilkada 2024 sudah memasuki 100 hari pertama. Masyarakat kerap melakukan evaluasi awal atas kerja nyata para kepala daerah. Sejatinya, masa 100 hari memang bukan indikator utama keberhasilan. Akan tetapi, publik senantiasa mengaitkannya sebagai indikasi awal arah pembangunan daerah, sekaligus sebagai cermin realisasi janji politik lima tahun ke depan.

Harus diakui, kepala daerah sering dihadapkan pada kenyataan bahwa implementasi janji-janji politik kampanye tidak semudah yang dibayangkan. Hasilnya, paradoks antara janji politik dan realita tercipta. Problematika ini mengemuka akibat adanya keterbatasan sistem, kewenangan, birokrasi, dan anggaran.

Hal ini didukung hasil studi Izzatum Naimah (2023) yang secara gamblang menyebutkan bahwa janji kampanye disusun dalam ruang imajinasi demokratis, namun implementasinya berlangsung dalam ruang birokrasi yang penuh kompromi. Penelitian ini memberikan eksplanasi terhadap kegagalan Bupati Ponorogo, Sugiri Sancoko, yang tidak dapat merealisasikan janjinya untuk membangun basecamp mahasiswa Ponorogo di luar daerah.

Alih-alih mendorong akselerasi, regulasi justru hadir sebagai hambatan bagi kepala daerah dalam melakukan inovasi dan improvisasi. Anthony Giddens (1984) mengatakan bahwa regulasi kerap muncul sebagai salah satu kekuatan struktural yang membatasi aktor untuk bertindak. Dengan kata lain, tindakan agen (baca: kepala daerah) tidak sepenuhnya otonom dalam merealisasikan janji politik karena terkendala hambatan struktural.

Di sisi lain, minimnya realisasi janji politik juga dapat disebabkan oleh keinginan memperkaya diri melalui korupsi. Dalam catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sepanjang 2004–2024 setidaknya terdapat 167 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Modusnya beragam: suap, gratifikasi, penyalahgunaan anggaran, jual beli jabatan, hingga kongkalikong perizinan. Kasus yang menimpa mantan Gubernur Riau Annas Maamun, mantan Wali Kota Tanjungbalai M. Syahrial, dan mantan Bupati Probolinggo Puput Tantriana, patut menjadi refleksi bagi kepala daerah agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Lebih jauh, gap besar antara janji politik dan realitas juga berdampak negatif terhadap kualitas representasi politik. Pemimpin daerah yang gagal mengartikulasikan kepentingan publik pada akhirnya turut menurunkan mutu demokrasi. Dalam konteks demokrasi, janji politik adalah kontrak sosial antara pemimpin dan rakyat. Meminjam logika pemikiran Hanna Pitkin (1967), kepala daerah semestinya merepresentasikan kepentingan warga melalui kebijakan dan program yang sesuai dengan janji kampanye. Ketika janji itu tidak ditepati, menurut Haryanto (2020), hal tersebut berpotensi menurunkan partisipasi politik masyarakat hingga tingkat apatisme.

Mengawasi Janji Politik

Dalam kerangka partisipasi politik, janji politik merupakan kontrak moral antara pemimpin dan rakyat. Implementasi janji kepala daerah semestinya dilakukan secara terukur, disertai indikator keberhasilan, dan diproyeksikan untuk mewujudkan aspirasi rakyat, bukan demi keuntungan pribadi atau kelompok. Hal ini sejalan dengan pemikiran Suryadinata (2016) bahwa pemimpin daerah yang mampu memenuhi janji secara konsisten akan berkontribusi besar dalam membangun kepercayaan politik warga.

Oleh karena itu, refleksi 100 hari pemerintahan daerah menjadi momentum penting untuk memastikan peran aktif masyarakat dalam mengawal proses demokrasi agar tidak mengalami kemunduran. Partisipasi politik aktif mencakup berbagai bentuk keterlibatan publik dalam mengawasi dan memengaruhi kebijakan pemerintah. Melalui platform pengaduan resmi dan forum publik, masyarakat dapat menyampaikan aspirasi dan menagih janji dengan cara konstruktif.

Dalam proses pengawasan janji politik, masyarakat juga dapat memberikan sanksi sosial-politik berupa penarikan dukungan bila kepala daerah terbukti ingkar. Lembaga swadaya masyarakat, kelompok pemuda, dan media independen dapat berperan sebagai agen pengawasan dan penyambung suara publik.

Menegakkan Transparansi dan Integritas Politik Lokal

Pada akhirnya, untuk meningkatkan kepercayaan publik, setiap kepala daerah harus menjamin adanya transparansi, akuntabilitas, dan integritas dalam tata kelola pemerintahan. Janji politik yang tidak ditepati tidak boleh dilupakan begitu saja karena dapat memudarkan kepercayaan terhadap demokrasi lokal.

Integritas demokrasi hanya dapat terwujud jika representasi politik dijalankan secara sehat dan partisipasi masyarakat berjalan aktif. Warga negara yang terlibat dan kritis menjadi mitra sekaligus pengawas yang tak tergantikan dalam sistem pemerintahan yang demokratis.

Patut diingat: demokrasi yang kuat menuntut keterlibatan warga yang sadar akan hak-haknya—termasuk hak untuk menagih janji politik kepala daerah.

Komentar