Akibat pelayanan kesehatan pemerintah yang buruk sementara rumah sakit swasta dengan layanan wah dan terbilang mahal, banyak warga Indonesia memilih berobat ke luar negeri. Sementara si miskin di berbagai daerah hanya bisa mengelus dada kian sulit mendapat layanan kesehatan terbaik.
Berobat ke luar negeri kini menjadi pilihan banyak warga di Tanah Air. Alasannya, entah tidak percaya atau kecewa dengan pelayanan dokter dan kelengkapan rumah sakit di dalam negeri, tarif pengobatannya yang relatif lebih murah atau obat yang lebih paten.
Lihat saja penyanyi Vidi Aldiano saat menjalani pengobatan kankernya. Dia mengaku lebih memilih melakukan perawatan ke Penang, Malaysia karena obat yang dibutuhkan tersedia di sana. Penyanyi papan atas ini pun rela bolak balik ke Penang demi pengobatan yang diyakini lebih baik.
Begitu pula dengan Tantowi Yahya. Ia mengungkap beberapa alasan masyarakat Indonesia memilih berobat ke Penang. Sedikitnya, ia menyebutkan tiga alasan utama dan faktor tambahan yang membuat WNI senang berobat ke negara tetangga.
“Yang pertama adalah tingkat akurasi yang tinggi. Ini barangkali produk mesin-mesin modern yang mereka gunakan dan dikombinasikan dengan dokter-dokter hebat, profesional, dan begitu juga perawat-perawatnya,” terang mantan Duta Besar Indonesia untuk Selandia Baru itu seperti inilah.com kutip dari akun TikTok pribadinya @tantowi2023, Sabtu (10/08/2025).
Alasan kedua adalah soal kecepatan layanan. Bahkan, Tantowi mengaku hanya menunggu kurang dari lima menit untuk dipanggil dan masuk ke ruang check-up. Selain itu, hasil seluruhnya bisa kami dapatkan kurang dari empat jam. “Ketiga, pasien-pasien itu mempunyai tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap hasil medical check up ataupun pengobatan,” lanjut Tantowi.
Sedangkan untuk faktor tambahan yang membuat mengapa WNI selalu datang ke Penang, salah satunya adalah menyangkut biaya yang relatif murah. Tantowi menyebut, pengobatan di Penang lebih murah 30-50 persen ketimbang di Jakarta dan Singapura.
Setidaknya sudah dua kali mantan Presiden Joko Widodo saat menjabat mengungkapkan penyesalannya melihat warga memilih berobat ke negara lain. Indonesia telah kehilangan potensi devisa US$11,5 miliar atau Rp180 triliun karena satu juta lebih warganya tidak berobat di dalam negeri.
“Hampir 2 juta orang, kurang lebih 1 juta orang ke Malaysia, kurang lebih 750 ribu orang ke Singapura dan sisanya ke Jepang, ke Amerika ke Jerman dan lain-lain. Mau kita terus-teruskan?” papar Jokowi pada 2023 lalu.
Tawaran pelayanan kesehatan dari beberapa negara memang menggiurkan bahkan sudah menggabungkan dengan paket medical tourism. Negara tetangga Malaysia menawarkan fasilitas medis, keahlian dokter dan biaya yang lebih kompetitif. Mereka sejak lama menciptakan sejumlah paket menarik seperti ‘well man dan well woman‘ yang mencakup pemeriksaan kesehatan secara komprehensif berbiaya rendah.
Singapura misalnya memiliki sistem perawatan yang diakui WHO paling unggul di Asia dan keenam di dunia. Berbagai pengobatan termasuk kardiologi dan bedah jantung, gastroenterologi, neurologi, onkologi, eftamologi, ortopedi, dan terapi stem cell menjadi andalannya.
Sementara India juga menawarkan rumah sakit swasta berkualitas, terutama di kota-kota besar seperti Bangalore, Mumbai, Chennai, dan Delhi. Perjalanan medis ke India tumbuh sebesar 30 persen per tahun. Biaya operasi di India jauh lebih murah puluhan ribu dolar dari pada di Amerika dan Eropa.
Negeri Ginseng Korea Selatan mendapatkan reputasi baik dalam hal operasi tulang belakang, skrining kanker, serta perawatan dan operasi bedah kosmetik. Demikian pula Thailand yang banyak menawarkan prosedur bedah kosmetik, dengan infrastruktur medis yang sangat baik.
Fenomena warga memilih berobat di rumah sakit swasta atau memilih berobat ke luar negeri tentu tak bisa begitu saja disalahkan. Warga jelas akan mencari pelayanan terbaik. Namun bagi rakyat kecil terutama di daerah-daerah, untuk mendatangi rumah sakit swasta di kota-kota besar saja tentu hanya sebatas mimpi mengingat mahalnya biaya pengobatan dan kendala jarak.
Tantangan dari Ketergantungan Bahan Baku Farmasi Impor
Pelayanan rumah sakit di dalam negeri seringkali mencerminkan masih banyaknya tantangan di bidang kesehatan. Infrastruktur kesehatan yang masih belum maksimal apalagi di daerah tertinggal, terluar, dan terdepan (T3) hingga pelayanan BPJS Kesehatan yang sering mendapat keluhan.
Sementara harga obat-obatan juga menjadi masalah lain lagi yang dihadapi sektor kesehatan nasional. Ini terkait dengan kondisi industri farmasi nasional. Indonesia memproduksi sebagian besar obat untuk kebutuhan domestik, ketergantungan terhadap bahan baku impor, khususnya dari China dan India, tetap menjadi masalah yang belum terpecahkan.
Ilustrasi berbagai jenis obat. (Foto: WHO)
Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Zullies Ikawati, memberikan gambaran cukup gamblang mengenai kondisi industri farmasi di Indonesia. Menurutnya, meskipun industri farmasi lokal mampu memproduksi sekitar 75-80 persen obat untuk pasar domestik, namun bahan baku aktif obat (Active Pharmaceutical Ingredients/API) sebagian besar masih bergantung pada impor.
“Bahan baku aktif obat yang digunakan untuk memproduksi obat di Indonesia masih sekitar 90 persen berasal dari impor, terutama dari China dan India. Jadi, meskipun industri farmasi kita mampu memproduksi sebagian besar obat jadi, ketergantungannya terhadap bahan baku impor masih sangat tinggi,” ungkap Prof. Zullies.
Dengan kapasitas produksi lokal yang mencapai sekitar 40 miliar tablet per tahun, kebutuhan obat dalam negeri bisa dipenuhi. Namun, pasokan bahan baku yang berasal dari luar negeri tetap menjadi masalah krusial, mengingat ketergantungan tinggi pada negara-negara penghasil bahan baku utama tersebut.
Ketergantungan terhadap bahan baku impor bukan hanya menimbulkan masalah pasokan, tetapi juga berdampak langsung pada harga obat di Tanah Air. Fluktuasi harga internasional dan gangguan dalam rantai pasok global sering kali menyebabkan harga obat di dalam negeri melonjak, yang pada gilirannya menambah beban sistem kesehatan nasional.
“Ketergantungan tinggi terhadap bahan baku impor mengakibatkan rentan terhadap fluktuasi harga internasional, gangguan rantai pasok global, dan keterlambatan distribusi. Biaya produksi yang meningkat menyebabkan beberapa obat menjadi lebih mahal. Tekanan harga ini juga mengganggu sistem JKN dan pembiayaan rumah sakit, terutama ketika harga pembelian melebihi batas penggantian biaya,” tambah Prof. Zullies.
Kondisi ini menyebabkan ketimpangan dalam akses obat, terutama obat-obatan yang vital dan penting bagi masyarakat. Ketika harga obat naik, sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan rumah sakit kesulitan untuk menutupi biaya tersebut, sehingga menyebabkan keterbatasan dalam pelayanan kesehatan.
“Obat juga dijamin (JKN) tapi dianggap pasien tidak tahu maka disuruh beli sendiri, mau enggak mau akhirnya keluar uang lagi,” papar Anggota BPJS Watch Timboel Siregar kepada inilah.com.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar (Doc. ANTARA Foto)
Langkah Jangka Panjang: Mendorong Kemandirian Produksi Obat
Prof. Zullies menambahkan, untuk mengatasi ketergantungan ini, Indonesia perlu memperkuat kapasitas produksi bahan baku obat (BBO) lokal dan mendorong kemandirian industri farmasi dalam negeri. Salah satu solusi jangka panjang yang perlu diambil adalah meningkatkan jumlah industri yang memproduksi API dan eksipien.
“Saat ini, baru sekitar 5–6 persen industri farmasi di Indonesia yang memproduksi API lokal. Kita perlu memperkuat kapasitas produksi BBO lokal untuk mengurangi ketergantungan pada impor. Pemerintah telah mengeluarkan roadmap pengembangan BBO dan Instruksi Presiden untuk mempercepat kemandirian bahan baku, namun realisasi investasi di sektor ini masih rendah,” jelasnya.
Selain itu, riset dan inovasi juga harus didorong. Sinergi antara pemerintah, BUMN farmasi, industri swasta, akademisi, dan lembaga riset perlu diperkuat untuk mendukung pengembangan API lokal, fitofarmaka, dan biologi modern. Sebagai contoh, pengembangan parasetamol dan amoksisilin lokal yang dilakukan PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia bekerja sama dengan BPPT dan universitas.
Beberapa langkah telah diambil oleh pemerintah untuk memperkuat sektor farmasi nasional, seperti memberikan insentif fiskal, pembebasan bea masuk, dan fasilitas tax holiday bagi industri yang melakukan riset dan investasi dalam produksi bahan baku obat.
Sertifikasi TKDN pada produk farmasi dan kebijakan preferensial seperti e-katalog JKN juga diarahkan untuk memprioritaskan produk dalam negeri. Untuk mempercepat kemandirian industri farmasi, pemerintah juga perlu melakukan reformasi dalam sistem pengadaan dan distribusi obat.
“Perlu memperbaiki sistem perencanaan kebutuhan obat, pelatihan staf pengadaan, akses e-katalog, serta mempercepat proses pembayaran dan verifikasi klaim untuk menghindari kekosongan stok dan pembelian di atas harga batas reimbursement. Koordinasi perlu diperkuat antara Kemenkes, BPJS Kesehatan, LKPP, dan institusi pengawasan seperti BPOM untuk menyelaraskan formularium nasional dan e catalogue,” ujarnya.
Mengarahkan Industri Farmasi ke Pasar Global
Selain fokus pada ketahanan pangan nasional, Prof. Zullies juga menekankan pentingnya orientasi industri farmasi Indonesia pada pasar global. Dalam jangka menengah hingga panjang (2025-2035), Indonesia harus meningkatkan kapasitas produksi bahan baku dan mengarahkan industri farmasi untuk menjadi pemain global.
“Saat ini, industri farmasi Indonesia adalah yang terbesar di ASEAN, dan kita harus mendorong ekspor ke negara-negara tetangga. Dengan proyeksi pertumbuhan ekspor sekitar 7–8 persen per tahun hingga 2028–2029. Dalam jangka menengah (2025–2035) kita perlu memperkuat daya saing internasional agar Indonesia tidak hanya memenuhi kebutuhan domestik tetapi juga dapat bersaing di pasar global,” paparnya.
Setelah 80 tahun merdeka, Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam mewujudkan kemandirian di sektor farmasi. Ketergantungan yang tinggi terhadap bahan baku impor menjadi penghalang utama yang menghambat kemajuan industri farmasi domestik.
Namun, dengan adanya kebijakan yang lebih mendukung, peningkatan riset dan inovasi, serta kolaborasi antara berbagai pihak, Indonesia memiliki potensi untuk memperkuat ketahanan kesehatan nasional dan mendorong industri farmasi menuju kemandirian yang lebih baik.
Hanya saja upaya ini memerlukan waktu, konsistensi, dan investasi yang signifikan. Dengan langkah yang tepat, Indonesia bisa lebih mandiri dalam memenuhi kebutuhan obat-obatan dan bersaing di pasar global, seiring dengan perayaan kemerdekaan yang ke-80. ***