Saat itu ia menghadapi Calvin Kattar, satu nama yang disegani di divisi featherweight (kelas bulu). Berjalan sengit, dalam laga itu Zabit tak hanya teknik grappling yang mulus, tetapi juga striking yang kreatif—karena kemahirannya menggabungkan wushu sanda dan sambo–, berupa tendangan putar, pukulan lurus, upper-cut, dan beragam serangan tak terduga yang membuat lawan kelimpungan. Zabit yang menang angka mutlak mempertegas posisinya sebagai salah satu prospek paling menakutkan di kelas bulu UFC.
Suatu sore di Moskow, tepatnya 9 November 2019, lampu sorot di CSKA Arena tertuju pada satu pertarungan yang begitu dinantikan penikmat Mixed Martial Arts (MMA). Dalam event UFC Fight Night 163, seorang petarung bernama Zabit Magomedsharipov tampil memukau di hadapan publik negeri Beruang Merah dan pemirsa siaran tv berbayar di seantero dunia.
Saat itu ia menghadapi Calvin Kattar, satu nama yang disegani di divisi featherweight (kelas bulu). Berjalan sengit, dalam laga itu Zabit tak hanya teknik grappling yang mulus, tetapi juga striking yang kreatif—karena kemahirannya menggabungkan wushu sanda dan sambo–, berupa tendangan putar, pukulan lurus, upper-cut, dan beragam serangan tak terduga yang membuat lawan kelimpungan. Zabit yang menang angka mutlak mempertegas posisinya sebagai salah satu prospek paling menakutkan di kelas bulu UFC.
Momen di Moskow itu jelas bukan hasil keberuntungan semata. Ia adalah puncak dari perjalanan panjang seorang petarung Kaukasus yang, meski namanya tak semegah Khabib Nurmagomedov atau Islam Makhachev, sempat berkilau sebagai salah satu talenta terbaik yang pernah dihasilkan tanah pegunungan itu.
Dikalahkan Cedera
Zabit Magomedsharipov lahir pada 1 Maret 1991 di Khasavyurt, Dagestan—sebuah republik di Kaukasus Utara, Federasi Rusia. Seperti halnya para petarung Dagestan lainnya, ia tumbuh dalam budaya bela diri yang kental. Gulat, sambo, dan berbagai aliran bela diri lainnya bukanlah hal asing bagi anak-anak setempat. Di Dagestan, disiplin dan keberanian menjadi menu harian, terjalin erat dengan nilai-nilai keluarga dan agama.
Dari kecil Zabit menyadari bahwa jalan hidupnya akan berporos pada seni bela diri. “Zabit selalu memiliki semangat juang yang tinggi. Ia tidak pernah takut untuk menghadapi tantangan,” ujar Rasulbekov Timur, pelatih lokal yang pernah mengasah teknik Zabit di masa remaja.
Memasuki masa pemuda, Zabit mulai serius menggeluti wushu sanda—seni bela diri Cina yang menggabungkan striking dan takedown. Kemahirannya dalam wushu sanda kelak menjadi salah satu kekuatan unik yang membedakannya dari petarung Kaukasus lain yang umumnya fokus pada gulat dan grappling.
Ia mulai meniti karier profesional di panggung MMA regional. Sebelum masuk UFC, Zabit tampil impresif di di World Warriors Fighting Championship (WWFC), sebuah promosi MMA yang cukup bergengsi di Eropa Timur. Pada tahun 2016, Zabit mencapai puncak kariernya Di WWFC, ia tidak hanya memenangkan pertarungan, tetapi juga beberapa kali mempertahankan gelar juara featherweight dengan gaya bertarung yang agresif namun terukur.
“Menjadi juara di WWFC adalah langkah penting dalam perjalanan karier saya. Itu memberi saya kepercayaan diri untuk melangkah ke panggung yang lebih besar,” ujar Zabit setelah meraih gelar tersebut. Rekor kemenangannya yang tak terkalahkan di WWFC—23-0, menarik perhatian promotor internasional.
Pada 2017, Zabit resmi bergabung dengan UFC. Sejak debutnya, ia menorehkan performa memukau, mengalahkan lawan-lawan tangguh dan menampilkan gaya bertarung yang menghibur. Ia meraih beberapa penghargaan Performance of The Night, menunjukkan bahwa skill yang dibawanya bukan sembarangan. Menjelang akhir 2019, saat pertarungannya melawan Kattar di Moskow, Zabit telah mencatatkan rekor sempurna 6-0 di UFC. Nama Zabit pun masuk radar calon penantang gelar divisi featherweight.
Pada puncak kariernya, Zabit Magomedsharipov sempat berada di jajaran 5 besar peringkat featherweight UFC. Ia dipandang sebagai salah satu penantang serius untuk juara saat itu, meski kesempatan merebut gelar belum datang. Prestasinya tak dipandang enteng lawan, sebab lawan yang dikalahkannya adalah para petarung berkualitas.
Namun, kariernya di UFC terhenti tiba-tiba. Cedera, masalah kesehatan, dan berbagai kendala membuatnya vakum dari pertandingan sejak 2019. Pada akhirnya, kabar mundurnya Zabit dari MMA muncul pada Juni 2022, ketika ia mengumumkan pensiun dini, mengejutkan banyak pihak yang semula memandangnya sebagai calon juara masa depan.
Dagestan dan klan Kaukasus di MMA
Dagestan, tempat Zabit berasal, bukan sekadar wilayah geografis—ia adalah “mesin penghasil” petarung MMA elit. Khabib Nurmagomedov adalah nama paling mencolok dari sana, disusul oleh Islam Makhachev yang kini menyandang gelar juara lightweight UFC. Selain keduanya, ada pula sejumlah nama lain seperti Umar Nurmagomedov, Usman Nurmagomedov, Rustam Khabilov, si kembar Khasan dan Khusein Askhabov, Shamil Abdurakhimov, Said Nurmagomedov, dan banyak lagi. Mereka disebut sebagai “klan Dagestan,” meski sebenarnya mereka tidak selalu berlatih di tempat yang sama atau berada dalam satu manajemen.
Tidak semua petarung Dagestan tergabung dalam klub latihan Khabib atau American Kickboxing Academy (AKA). Beberapa memiliki pelatih dan tim sendiri di Dagestan, sementara yang lain merantau ke berbagai sasana internasional. Alasan perbedaan kamp latihan ini beragam—mulai dari preferensi gaya bertarung, pendekatan pelatih, hingga masalah manajemen dan finansial. Zabit sendiri berlatih bersama tim yang berpusat di Dagestan, serta sempat mengembangkan kemampuannya di sejumlah kamp internasional untuk memoles aspek striking dan cardio.
Tim pelatihnya selalu menyebut Zabit sebagai “seniman” di atas oktagon. “Dia bukan hanya atlet, tetapi seniman yang melukis pergerakan dengan pukulan dan kuncian,” ujar Mark Henry, salah satu pelatih stand-up UFC terkenal yang pernah bekerja dengannya.
Putra Dagestan lainnya, Khabib Nurmagomedov mencapai status megabintang dengan menaklukkan Conor McGregor, merengkuh sabuk juara, dan pensiun dengan rekor sempurna 29-0. Islam Makhachev pun menyusul jejak gemilang itu.
Zabit tidak seberuntung mereka. Ia tidak pernah mendapat kesempatan merebut sabuk meski memiliki potensi besar. Perjuangannya terhambat oleh kondisi kesehatan dan masalah lain yang membuatnya tak dapat bertanding secara reguler. “Dia sempat mendekati panggung besar, tapi langit tak selalu cerah,” kata Dmitry Ivanov, analis MMA terkenal di Rusia.
Bukan berarti Zabit kurang dedikasi. Ia berlatih keras, mengikuti diet ketat, dan selalu mempersiapkan mental sebaik mungkin jelang pertarungan. Laiknya orang Dagestan, Zabit dikenal sebagai sosok yang pendiam dan rendah hati. Ia tidak suka “membual” di media, jarang sekali terlibat trashtalk. Gaya hidupnya sederhana, jauh dari gemerlap selebritas olahraga. Ia seperti mencerminkan karakter khas petarung Kaukasus: tenang, religius, dan setia pada nilai-nilai keluarga.
Sebagai bagian dari Federasi Rusia, Dagestan menjadi salah satu daerah yang melahirkan banyak atlet tangguh. Pemerintah Rusia di era Vladimir Putin mendukung pengembangan olahraga, termasuk MMA. Prestasi anak-anak Dagestan di panggung dunia telah menjadi kebanggaan nasional. Meski begitu, di level personal, Zabit dan kawan-kawan tetap memegang erat identitas etnik dan nilai-nilai Islam yang dihayati sejak kecil. Di mata mereka, MMA adalah ajang pembuktian diri, pengharum nama daerah, sekaligus cara menunjukkan bahwa nilai-nilai disiplin dan kesopanan dapat hidup berdampingan dengan sifat keras olahraga tarung.
Konon, semasa mudanya, Zabit sering berlatih di daerah pegunungan, memanfaatkan medan alami untuk membangun stamina. Ia berlari di jalur terjal, berlatih grappling di atas tanah berkerikil, menghirup udara tipis yang memperkuat paru-parunya. Metode latihan tradisional ini membuatnya tangguh saat berlaga di oktagon.
Ada pula cerita tentang gaya latihan uniknya—Zabit kerap melakukan latihan tendangan dengan target yang tidak lazim, seperti daun pohon yang menjuntai. Tujuannya? Melatih akurasi dan fleksibilitas. “Dia orang yang sangat kreatif dalam berlatih,” ujar Ricardo Almeida, salah satu mantan pegulat dan pelatih BJJ (Brazilian Jiu-Jitsu) kenamaan yang sempat mengamati latihan Zabit. “Dia akan menemukan cara-cara tak biasa untuk meningkatkan tekniknya.”
Di luar oktagon, Zabit bukan sosok yang gemar berpesta atau tampil mewah. Ia lebih suka menghabiskan waktu dengan keluarga, berbincang dengan kerabat, dan tetap menjaga hubungan baik dengan komunitas di kampung halaman. Ketenangan inilah yang membuatnya dicintai banyak penggemar yang menghargai kesederhanaan. “Zabit mengingatkan kita bahwa seorang atlet top tidak harus menjadi selebritas gemerlap,” kata seorang penggemar yang pernah bertemu dengannya di Dagestan. “Ia tetap seorang anak gunung yang rendah hati.”
Sayangnya, karier Zabit di UFC tak berumur panjang. Ia tak sempat meraih sabuk juara sebelum pension. Banyak yang yakin Zabit bisa jadi juara jika diberi sedikit lagi waktu dan keberuntungan.
Meski pensiun, warisannya sebagai salah satu petarung paling kreatif dan bertalenta di divisi featherweight tetap dihormati. Pertarungan melawan Calvin Kattar di Moskow akan selalu dikenang sebagai bukti kemampuannya. Dalam ingatan para penggemar, Zabit Magomedsharipov adalah simbol bakat yang belum sempat dimaksimalkan, seorang seniman oktagon yang meninggalkan panggung sebelum lukisannya benar-benar kelar. [ ]