Kasus Suap Korporasi Seret Ketua PN Jaksel, Pakar Sebut Perampokan Keadilan Paling Brutal

Kasus Suap Korporasi Seret Ketua PN Jaksel, Pakar Sebut Perampokan Keadilan Paling Brutal


Pakar Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho menyebut dugaan suap Rp60 Miliar yang menyeret Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan,  Muhammad Arif Nuryanta dalam vonis bebas tiga oknum korporasi minyak goreng (migor), merupakan tindakan yang menghancurkan fondasi Indonesia sebagai negara hukum. Seluruh pelakunya harus dihukum seberat-beratnya.

Menurutnya, keterlibatan hakim dalam pengaturan putusan demi kepentingan korporasi adalah bentuk paling brutal dari perampokan keadilan. “Kalau hakim bisa dibeli oleh korporasi, apa lagi yang tersisa dari negara hukum kita. Ini bukan sekadar pelanggaran etik, ini adalah penjualan hukum kepada pemilik modal,” tegas Hardjuno di Jakarta, Minggu (13/4/2025).

Dia bilang, kasus suap oleh korporasi ini, lebih berbahaya ketimbang korupsi birokrasi biasa. Jika korupsi birokrasi merampok anggaran, maka suap korporasi merampok sistem.

“Ini beda kelas. Korupsi birokrasi itu mencuri dana, tapi suap korporasi membajak hukum demi melanggengkan kekuasaan ekonomi. Mereka tidak cuma menghindari hukuman, tetapi mereka membeli keadilan dan mengatur arah negara sesuai kepentingan mereka,” ungkapnya.

Bayangkan, kata dia, negara menggelontorkan triliunan rupiah untuk subsidi migor demi membantu rakyat yang sedang kesulitan. Tapi di belakang layar, korporasi justru menyuap hakim agar bisa bebas dari jeratan hukum. “Itu bukan hanya penghinaan terhadap negara, tapi pengkhianatan terhadap rakyat,” tegasnya.

Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Ketua PN Jaksel, Muhammad Arif Nuryanta sebagai tersangka, bersama tiga orang lainnya dalam dugaan suap vonis lepas untuk petinggi Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group. Uang suap itu diduga mengalir lewat pengacara korporasi dan pejabat pengadilan.

“Perkara ini menunjukkan bahwa persoalan hukum di Indonesia bukan hanya soal integritas personal, tapi sudah sistemik. Ketika korporasi besar bisa membeli putusan, maka rakyat kecil tak punya harapan di hadapan hukum,” kata Hardjuno yang juga kandidat doktor bidang hukum dan pembangunan dari Universitas Airlangga (Unair) itu.

Karena itu, lanjut pegiat antikorupsi ini mendesak agar Mahkamah Agung (MA) melakukan pembenahan besar-besaran dan memperketat sistem pengawasan hakim. Salah satu gagasannya adalah pembentukan lembaga pengawasan independen yang bisa mengaudit kekayaan, gaya hidup, dan jaringan relasi seluruh hakim.

“Kalau ada Rp60 Miliar yang mengalir ke ruang sidang, berarti ada sistem yang sudah bobrok sejak lama dan dibiarkan. Kita perlu audit total, bukan hanya perkara, tapi siapa saja yang bermain di balik layar,” ujarnya.

Lebih lanjut, Hardjuno kembali menekankan pentingnya pengesahan dan penerapan Undang-Undang Perampasan Aset sebagai instrumen utama penindakan dan pencegahan. Pelaku suap seperti ini tidak cukup hanya dihukum penjara.

“Kalau uang hasil kejahatan tidak dirampas, maka penjara cuma jadi jeda. Mereka akan tetap hidup makmur setelah bebas. UU Perampasan Aset akan memastikan bahwa hasil suap dan korupsi dikembalikan ke negara, dan pelaku tidak bisa lagi membeli kebebasan dengan uang kotor. Ada efek jera juga dengan penerapan UU tersebut,” tegasnya.

Dalam hal ini, dia mengapresiasi keberhasilan Kejagung dalam membongkar jaringan suap di lingkungan peradilan. Apalagi, Kejagung mampu mengembangkan penyidikan dari satu kasus ke kasus lainnya secara berlapis dan terstruktur.

“Semua ini bukan berdiri sendiri. Kejaksaan awalnya menyidik kasus suap hakim dalam perkara vonis bebas Ronald Tannur di Surabaya. Dari situ, penyidik menemukan barang bukti yang mengarah ke dugaan suap dalam kasus lain, termasuk temuan uang hampir Rp1 triliun dan emas batangan di rumah mantan pejabat Mahkamah Agung,” jelasnya.

 

Komentar