Mitos Kemajuan

Mitos Kemajuan


Sebagai negara, bisakah kita hanya mengandalkan narasi atau cuma ‘jualan cerita’? Saya akan mencoba menjelaskannya ‘dalam bahasa bayi’.

Setiap pemasaran produk memerlukan cerita untuk meyakinkan pembeli. Cerita itu bisa berupa data saintifik, pengujian laboratorium, dukungan akademia, atau testimoni pelanggan. Semuanya bisa dikemas menjadi berbagai produk pemasaran, termasuk iklan. Tujuannya sederhana: Agar pembeli teryakinkan dan terjadi transaksi. Cerita yang berhasil akan mendongkrak tingkat penjualan.

Namun, masa depan produk ditentukan hanya oleh kualitas yang sebenarnya. Pengalaman dan interaksi pelanggan dengan produk tersebut. Apakah janji iklan terpenuhi atau bohong belaka? Reputasi produk ditentukan oleh janji iklan yang tertunaikan di level pengalaman. Itu intinya.

Dalam konteks lain, di pasar modal, misalnya, peran cerita juga sangat penting. Keputusan untuk ‘beli’ atau ‘jual’ sangat ditentukan oleh cerita yang beredar. Cerita itu bisa berupa berita, hasil analisis ahli, laporan konsultan, sampai ‘insider information’. Ceritalah yang menentukan harga saham naik atau jatuh, orang-orang di lantai bursa berpesta atau bersedih.

Cerita selalu memainkan peranan penting di setiap perjalanan bisnis finansial, dari mulai ‘initial public offering’ (IPO) sampai pembagian dividen perusahaan terbuka. Tapi cerita itu harus terbukti di lapangan, kinerja perusahaan harus bagus dari tahun ke tahun. Itu syarat untuk jadi saham ‘blue chip’ yang terpercaya.

Begitupun dalam perjalanan sebuah negara. Cerita memegang peran sangat sentral. Maju atau tidaknya suatu negara ditentukan oleh bagaimana cerita tentang negara itu dikemas, ditampilkan, dan didaur ulang. Dalam konteks pembangunan, kepercayaan negara lain dan institusi-institusi internasional sangat bergantung pada narasi pembangunan yang ditawarkan pengelola negara.

Tapi itu tadi, sebagian cerita menjadi kenyataan, menjadi ‘delivered promises’. Sementara sebagian lain menjadi mitos kemajuan yang dipenuhi kebohongan (‘myth of progress’). Ini yang jadi awal mula petaka sebuah negara.

Narasi tanpa integritas

Contoh terbaik dari sebuah mitologi kemajuan adalah apa yang terjadi pada Mozambik di tahun 2016. Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi mencapai 7-8% di tahun 2011-2014, negara ini menjadi ‘rising star’ di Afrika Sub-Sahara. Penghasilan utamanya berasal dari sektor pertambangan dan komoditas.

Garis pantai negara ini terbentang sepanjang 2.470 km di Samudera Hindia, menjadi salah satu yang terpanjang di Afrika. Hal ini membuat Mozambik memiliki wilayah laut yang kaya akan ikan tuna, udang, dan hasil laut lainnya. Bukan hanya itu, negara ini juga memiliki posisi strategis di jalur perdagangan antara Asia dan Afrika bagian selatan.

Bermodalkan sumber daya alam dan posisi strategis yang dimiliki, didukung tingkat kepercayaan internasional yang baik karena pertumbuhan ekonominya, Mozambik mencanangkan sebuah narasi baru: Industrialisasi Maritim. Ikan tuna menjadi simbol narasi besar ini. Dunia mengenalnya dengan sebutan ‘The Tuna Bonds’, sebuah proyek level negara yang mencoba meyakinkan institusi-institusi keuangan dunia untuk berinvestasi di sana.

Bagi Mozambik, ‘The Tuna Bonds’ adalah proyek strategis nasional. Tujuannya adalah diversifikasi ekonomi dari tambang ke sektor produktif. Negara ini ingin mengurangi ketergantungan impor pangan laut, meningkatkan ekspor hasil laut ke Eropa dan Timur Tengah, serta menciptakan lapangan kerja di sektor perikanan dan perkapalan. Sebuah narasi besar yang ‘mulia’ dalam rangka membangun identitas Mozambik sebagai negara maritim yang kuat secara ekonomi.

Pada tahun 2013, rencana besar pun disusun. Pemerintah Mozambik mengajukan pinjaman lebih dari $2 miliar untuk membangun armada penangkap ikan tuna modern dan memperkuat keamanan laut. Pinjaman itu ditujukan kepada beberapa institusi finansial besar, $622 juta ke Credit Suisse, $535 juta ke VYB Bank, dan sisanya ke berbagai lembaga keuangan lain.

Mozambik menggunakan 3 perusahaan nasional sebagai kreditur utama yang mengeksekusi pinjaman itu: ProIndicus, EMATUM (Empresa Moçambicana de Atum) dan Mozambique Asset Management (MAM). Dengan cerita yang meyakinkan, dalam waktu singkat, pinjaman itupun disetujui.

Masalahnya, proyek nasional itu palsu. Tiga perusahaan yang menjadi kreditur tadi seluruhnya fiktif belaka. Lebih parah lagi, pemerintah Mozambik mengambil hutang ini tanpa persetujuan parlemen dan menyembunyikannya dari masyarakat. Selama tiga tahun (2013–2016), pemerintah Mozambik ternyata membayar bunga atas utang untuk proyek yang tidak pernah ada. Tidak ada kapal, tidak ada galangan, dan tidak ada industri tuna yang dibangun.

Pada tahun 2016, kebohongan besar ini terbongkar. Utang rahasia senilai lebih dari $2 miliar itu pun menjadi skandal finansial terbesar yang pernah terjadi di Afrika. Setelah dilakukan proses hukum yang panjang, terbukti lebih dari $200 juta digunakan untuk suap dan komisi gelap kepada para bankir, konsultan dan agen, sisanya dikorupsi gila-gilaan oleh pejabat-pejabat Mozambik. Ini adalah sebuah perampokan level negara yang pernah dilakukan para elit yang menjarah rakyatnya, hanya bermodal cerita.

Dampak dari kebohongan ini adalah ambruknya perekonomian Mozambik. Gara-gara skandal ini, IMF dan Bank Dunia menghentikan seluruh bantuan keuangan ke sana. Mozambik pun mengalami ‘default’ (gagal bayar) utang-utang luar negerinya. Mata uangnya anjlok tak berharga, inflasi melonjak drastis membuat jutaan rakyatnya jatuh ke jurang kemiskinan. Dari ‘rising star’ Afrika, Mozambik ‘nyungsep’ ke kubangan lumpur gara-gara ‘jualan cerita bohong’.

Akhlak tata kelola

Kisah tragis Mozambik membawa sebuah pelajaran berharga bahwa narasi tanpa integritas bisa membuat sebuah negara melambung sementara tetapi akan menjatuhkannya secara fatal. Pembangunan tak boleh hanya bersifat mitos belaka, tapi harus dijalankan dengan penuh komitmen dan integritas oleh para pengelolanya. Di sini, akhlak tata kelola adalah kunci dari terwujudnya narasi kemajuan yang dijalankan sebuah negara.

Tanpa akhlak tata kelola yang benar, narasi kemajuan adalah kebohongan. Seperti janji iklan yang tidak terbukti, pelanggan akan meninggalkan produk dengan perasaan ditipu. Seperti ‘gorengan’ saham yang penuh ‘make up’, reputasi perusahaan akan jatuh dan sahamnya ambruk di lantai bursa. Begitupun narasi negara, jika terdapat kebohongan di dalamnya, atau hanya dirancang untuk ajang perampokan elitnya, akan membuat negara itu kolaps dan kesulitan menyusun masa depannya.

Hari ini, di Indonesia kita memiliki sejumlah ‘rencana besar’ dan ‘mitos-mitos kemajuan’ yang sedang dibangun. Berbagai proyek strategis nasional, pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), ‘sovereign wealth fund’ Danantara, dan berbagai rencana pembangunan nasional lainnya. Semua itu bisa kita susun cerita baiknya, bisa dicari legitimasi akademik dan pengakuan ahlinya, bisa dihitung angka optimistisnya, tetapi tanpa hadirnya akhlak tata kelola, tanpa komitmen untuk ‘deliver the promises’, semuanya bisa berujung menjadi malapetaka.

Dalam seni mengelola negara, narasi memang memiliki peran yang sangat vital. Tetapi di atas semua itu, kebenaran dan ketepatan eksekusi tetap menjadi penentunya. Kata pepatah, “Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya.” Narasi adalah sebuah janji, satu ujian, yang kalau kita tidak tunaikan atau gagal kita eksekusi, akan membuat negara ini hancur dan kehilangan legitimasi.

Itulah sebabnya narasi negara tidak boleh hanya berasal dari elitnya saja, tetapi harus lahir dari aspirasi publik. Narasi nasional yang lahir dari aspirasi publik akan menjadi milik publik, diawasi publik, dan diperjuangkan oleh publik. Tugas negara adalah merangkum aspirasi itu dan mengawalnya dengan paket-paket kebijakan yang tepat dengan implementasi yang profesional.

Kata Daron Acemoglu dan James A. Robinson, dalam bukunya, ‘Why Nations Fail’ (2012), resep negara gagal adalah kekuasaan yang terpusat di tangan elit yang hanya menggunakan narasi untuk mempertahankan kontrol, bukan untuk menciptakan kemakmuran. Konsentrasi elit itulah yang membentuk institusi ekstraktif yang tidak akan cukup memberikan insentif harapan dan kepercayaan kepada publik untuk menabung, berinvestasi dan berinovasi demi masa depan mereka. “Nations fail because extractive institutions do not create the incentives needed for people to save, invest, and innovate.”

Kita perlu berhati-hati agar negara ini tidak terjebak pada mitos kemajuan (‘myth of progress’) yang hanya digerakkan oleh ‘the few elites’: Bandara megah tapi tak ada penerbangan, kawasan industri dibangun tapi pekerjanya impor, proyek digitalisasi digalakkan tetapi literasi rakyat tertinggal. Jangan sampai narasi besar, tapi etika kecil.

Jadi, apakah bisa Indonesia hanya ‘jualan cerita’? Jawabannya, bisa. Investor asing mungkin akan datang. Tapi masa depan bangsa ini sejatinya ditentukan oleh janji yang ditepati, gambar kerja yang jadi karya nyata, elit yang merangkul dan memberdayakan rakyatnya.

Tabik!

Komentar