Masa Depan dan Krisis Kepercayaan

Masa Depan dan Krisis Kepercayaan


Belakangan ini kita berdebat hebat, apakah Indonesia Cerah atau Indonesia Gelap? Berbagai data ekonomi dikeluarkan dan diekstrapolasi untuk membuktikan mana kesimpulan yang benar. Menurut saya, sebenarnya ini bukan soal prediksi masa depan Indonesia, tetapi sinyal kepercayaan publik yang goyah kepada pemerintah. Apa yang seharusnya kita lakukan?

Pendiri sekaligus ketua eksekutif World Economic Forum, Klaus Schwab, menyatakan dalam bukunya The Fourth Industrial Revolution (2016) bahwa masa depan sebuah negara sangat ditentukan oleh kepercayaan publik terhadap pemerintahnya.

Di masa depan, kata Schwab, governance tidak akan lagi bergantung pada struktur institusi dan otoritas, tetapi sangat ditentukan oleh interaksi dan kepercayaan publik kepada lembaga dan penyelenggara negara. Pada WEF 2022, Schwab bahkan memperkenalkan sebuah konsep yang diprediksi akan menjadi cara masyarakat menilai pemerintahan di masa depan, namanya kredit reputasi institusi.

Ini mirip dengan sistem kredit sosial di China, meski penuh kontroversi karena dianggap melanggar privasi. Yang jelas, idenya sama: publik akan makin memiliki kuasa untuk menilai secara langsung. Reputasi tidak lagi ditentukan oleh survei kepuasan publik yang dilakukan oleh lembaga yang ditunjuk pemerintah, melainkan dinilai langsung oleh masyarakat dari hari ke hari.

Karena di masa depan segalanya akan lebih terdigitalisasi, sistem penilaian reputasi institusi oleh publik ini akan mirip dengan sistem review di platform digital seperti Airbnb atau eBay, di mana provider atau seller yang memiliki review sangat buruk bisa dikeluarkan dari ekosistem bisnis. Semuanya bersifat langsung dan terbuka, tanpa ruang untuk melakukan manipulasi persepsi atau make up.

Intinya, menurut Schwab, di masa depan segalanya akan berdasar pada sistem kepercayaan digital (digital trust) yang diakui bersama. Negara, perusahaan, atau individu dengan reputasi digital yang tinggi akan lebih dipercaya, lebih dipilih, dan lebih cepat mendapatkan akses ke jaringan global, investasi, dan dukungan publik. Dalam konteks pemerintahan, proyek dan kebijakan yang transparan secara digital akan lebih mudah diterima rakyat.

Hal ini sejalan dengan teori legitimasi politik yang pernah diungkapkan David Easton dalam bukunya A System Analysis of Political Life (1965), yang menyatakan bahwa legitimasi adalah kepercayaan rakyat yang membuktikan kekuasaan itu sah dan patut ditaati. Rasa percaya menjadi prasyarat legitimasi itu. Negara hanya bisa bertahan dan berkembang jika keputusannya dipersepsi adil, jujur, dan berpihak pada kebaikan publik.

Pemikiran ini penting untuk mempersiapkan Indonesia masa depan. Jika kita melihat perjalanan republik pasca-Reformasi, public trust kepada pemerintah masih menjadi pekerjaan rumah besar. Meski berbagai survei kepuasan publik kerap memberikan skor tinggi kepada pemerintahan, fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya. Korupsi menjadi momok dan budaya yang sangat buruk, berpotensi menggagalkan tunainya janji Indonesia Emas 2045.

Data terbaru Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebut bahwa total transaksi aliran dana pada kasus dugaan tindak pidana korupsi sepanjang tahun 2024 mencapai jumlah yang fantastis, yakni mencapai Rp984 triliun. Mimpi mewujudkan negara yang bebas dari korupsi rasanya masih jauh panggang dari api. Jika dibiarkan terus-menerus, kepercayaan publik kepada negara akan terus memudar.

Trust-Based Reform

Kita perlu melakukan apa yang disebut sebagai trust-based reform atau reformasi berbasis rasa percaya. Ini adalah pendekatan reformasi yang berfokus pada membangun, memperkuat, dan mempertahankan kepercayaan publik sebagai modal utama perubahan institusional dan sosial. Bukan sekadar mengganti sistem atau prosedur, tetapi memulihkan hubungan emosional dan moral antara rakyat dengan negara. Untuk menjelaskan konsep ini, pengalaman Georgia mungkin bisa kita jadikan contoh.

Sebelum tahun 2004, Kepolisian Georgia dikenal sebagai salah satu institusi terburuk di dunia. Hampir seluruh interaksi warga dengan polisi di sana melibatkan suap. Dari soal lalu lintas sampai kriminalitas, korupsi terjadi di semua tingkatan. Kepercayaan publik kepada aparat penegak hukum di sana pun nyaris nol. Situasi ini mengancam Georgia menjadi negara gagal.

Setelah Revolusi Mawar, pasca-pemilu ulang di bulan November tahun 2003 yang penuh manipulasi dan kontroversi, Georgia punya pemimpin baru terpilih dari kalangan muda. Mikheil Saakashvili namanya. Ia adalah pemimpin gerakan reformasi integritas yang berhasil menggerakkan seluruh elemen masyarakat Georgia, simbolnya bunga mawar. Dan kisah paling inspiratif dari gebrakan ini adalah soal polisi.

Dalam satu malam, pemerintah memecat seluruh polisi lalu lintas negara itu. Tak tanggung-tanggung, sekitar 30.000 personel dirumahkan. Tindakan ini mengejutkan dunia, tetapi mendapatkan dukungan rakyat yang sudah sangat muak terhadap korupsi. Georgia pun melakukan rekrutmen ulang dan pelatihan baru; polisi-polisi muda direkrut dari berbagai universitas. Gaji mereka dinaikkan agar tak tergiur suap.

Inovasi mengejutkan lainnya adalah Public Service Hall yang serba digital dan terbuka. Kantor polisi diubah menjadi bangunan kaca yang bisa dilihat publik dari luar. CCTV, digital dashboard, dan sistem pelaporan online diperkenalkan demi terciptanya transparansi publik. Di Georgia, setiap prosedur hukum bisa diikuti dan diaudit oleh sistem yang terbuka.

Tak berhenti sampai di situ, seragam polisi pun didesain ulang. Menjadi lebih modern dan bersih. Ini adalah pernyataan sekaligus simbol. Georgia ingin membenahi persoalan integritasnya yang carut-marut, dimulai dari membenahi institusi kepolisian negaranya.

Hasilnya pun mencengangkan. Dalam waktu hanya kurang dari lima tahun, kepercayaan publik terhadap polisi di Georgia meningkat tajam. Dari sebelumnya tak pernah mencapai 10 persen menjadi lebih dari 80 persen. Negara kecil itu pun menjadi model global dalam hal trust-based reform. Transparansi dan integritas institusional menjadi daya saing nasional mereka yang bisa dibanggakan hingga ke seluruh dunia.

Indonesia boleh berbangga bahwa survei kepuasan publik kita terhadap pemerintah tak pernah di bawah 50 persen. Tetapi sebenarnya yang perlu kita perhatikan bukanlah angkanya, melainkan bagaimana rasa percaya itu termanifestasi di tengah kehidupan sehari-hari dan menjadi kekuatan yang nyata. Kembali kepada konsep Schwab, public trust adalah modal bagi sebuah negara untuk meretas jalan masa depannya.

Hari ini, jika kita selami obrolan rakyat di warung kopi, atau perdebatan kelas menengah di media sosial, ada nuansa hilangnya rasa percaya publik kepada pemerintah. Sampai-sampai ada gerakan #IndonesiaGelap atau #KaburAjaDulu yang mendorong anak muda agar berkarir di luar negeri karena masa depan negara dianggap suram.

Lima Langkah Strategis

Kita perlu melakukan reformasi rasa percaya publik agar negara memiliki legitimasi untuk menjalankan roda pemerintahannya. Tanpa kepercayaan, apa pun program yang digulirkan pemerintah tak akan mendapatkan dukungan publik. Kebijakan yang dipercaya publik lebih mudah diimplementasikan tanpa resistensi. Inilah yang akan memastikan stabilitas sosial, trust akan menurunkan ketegangan di tengah masyarakat, memperkecil risiko ketidakpuasan, dan gejolak sosial. Tujuan tertingginya adalah pembangunan berkelanjutan. Hanya dengan trust, investasi sosial dan ekonomi bisa terus tumbuh dan menghasilkan kesejahteraan.

Belajar dari kisah Georgia, selain political will dari pemimpin dan penyelenggara negara, ada lima langkah yang bisa kita lakukan mulai hari ini untuk memastikan Indonesia yang lebih baik di masa depan.

Pertama, memastikan transparansi proses. Jangan ada proses-proses kebijakan di dalam kamar tertutup atau deal di bawah meja. Publik harus bisa mengawasi, memantau, bahkan ikut serta mengevaluasi kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah. Tentu saja, saluran dan caranya perlu dipikirkan dan disepakati bersama sesuai dengan aturan perundangan yang berlaku.

Kedua, menjamin akuntabilitas dan pengawasan independen. Sistem demokrasi harus dipertahankan dan terus diperbaiki. Sistem ini bukan yang terbaik, tetapi satu-satunya yang memiliki mekanisme self-correction yang terbukti membuat banyak negara bertahan dan maju. Salah satu instrumen paling utama dalam demokrasi adalah adanya sistem audit dan review eksternal yang kredibel. Ada keterlibatan publik untuk mengawasi eksekutif, legislatif, dan yudikatif, di antaranya melalui berbagai komisi independen maupun lembaga pers.

Ketiga, menjaga dan terus mendorong partisipasi publik. Harus dipastikan bahwa rakyat diberi ruang untuk memberikan masukan, kritik, dan penilaian terhadap institusi. Salurannya perlu tersedia, baik melalui saluran pemerintah maupun peran media. Perlindungan terhadap hak-haknya pun harus dijaga, bukan justru dimusuhi apalagi dikriminalisasi.

Keempat, meningkatkan peran teknologi dalam sistem birokrasi. Kita perlu terus mendorong digitalisasi prosedur (e-governance) agar tidak ada ruang manipulasi. Teknologi blockchain dan AI bisa dipakai untuk menghindari intervensi manusia yang kadang bias dan disertai konflik kepentingan. Teknologi bukan hanya alat efisiensi, tetapi alat membangun trust by design.

Kelima, menghadirkan simbol-simbol perubahan di ruang publik. Simbol ini kadang terlihat sederhana, tetapi memiliki daya persuasi yang sangat kuat di level pikiran bawah sadar publik. Seperti yang dilakukan Georgia, mereka membangun ulang kantor polisi dengan kaca transparan, mendesain ulang seragam polisi, dan menginstal dashboard untuk pelayanan publik digital. Simbol-simbol perubahan itu penting untuk memperkuat pesan bahwa negara sedang melakukan perubahan secara formal dan substansial.

Opini publik tentang masa depan Indonesia, apakah gelap atau terang, bukanlah soal lemahnya patriotisme atau nasionalisme, tetapi diagnosis terhadap memudarnya kepercayaan publik kepada pemerintah. Kita tidak perlu menyalahkan siapa pun untuk perdebatan semacam ini, melainkan perlu mencari cara untuk memperbaiki kepercayaan publik itu. Bukan mencari siapa yang salah, tetapi apa yang salah. Dari sana, kita rumuskan ulang perjalanan ke masa depan.

Tabik!

Komentar