Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah alias Castro, menjelaskan alasan mengapa Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset penting untuk segera disahkan. Menurut Castro, jika RUU tersebut diketok palu, negara akan lebih mudah dalam merampas seluruh aset milik koruptor.
“Padahal kita butuh banget. Kenapa perlu Undang-Undang Perampasan Aset itu? Karena berkali-kali aset-aset para pelaku korupsi misalnya, itu sulit untuk dirampas,” kata Castro saat dihubungi Inilah.com di Jakarta, Sabtu (3/5/2025).
Ia mencontohkan kasus eks pejabat Direktorat Pajak, Rafael Alun, yang awalnya terjerat karena memiliki kekayaan yang diperoleh secara tidak sah (illicit enrichment), tidak tercantum dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), dan diduga berasal dari penerimaan gratifikasi sejumlah wajib pajak serta tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait.
“Karena terbentur, belum adanya regulasi yang secara spesifik. Saya kasih contoh ya, misalnya kasus Rafael Alun,” ucap Castro.
Namun, aset milik Rafael Alun tidak seluruhnya dapat dirampas negara karena terbentur putusan peradilan, khususnya di tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA). Hakim MA menilai sebagian aset Rafael bukan berasal dari tindak pidana. Salah satunya adalah barang bukti perkara gratifikasi nomor 552 dan perkara TPPU nomor 412 berupa satu bidang tanah berikut bangunan rumah di atasnya di Jalan Simprug Golf, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, seluas 766 meter persegi atas nama istrinya, Ernie Meike.
Akhirnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya bisa menyetorkan Rp40,5 miliar ke kas negara dari hasil rampasan aset Rafael Alun. Rinciannya adalah uang pengganti sebesar Rp10,07 miliar, uang rampasan perkara gratifikasi dan TPPU sebesar Rp29,9 miliar, serta uang rampasan perkara TPPU sebesar Rp577 juta.
“Mestinya negara bisa merampas itu. Cuma kita selama ini terbentur karena harus dengan putusan pengadilan,” tegas Castro.
Menurut Castro, melalui konsep Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCBAF) atau perampasan aset tanpa pemidanaan, seperti yang diperkenalkan dalam United Nations Convention Against Corruption 2003 (UNCAC 2003), negara bisa lebih mudah merampas seluruh aset koruptor tanpa harus menunggu proses hukum yang panjang.
“Nah, model yang ditanamkan melalui rancangan Undang-Undang Perampasan Aset ini, apa yang kita kenal dengan istilah Non-Conviction Based atau proses perampasan aset tanpa menunggu putusan pengadilan. Artinya itu akan jauh lebih efektif untuk merampas aset-aset para koruptor, terutama penyelenggara negara yang kekayaannya meningkat secara tidak wajar atau yang kita sebut sebagai illicit enrichment tadi,” terangnya.