Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Saadiah Uluputty, mengkritik tata kelola pangan nasional lemah. Hal itu disampaikan buntut dari tren penurunan harga beras dunia yang signifikan, tapi masyarakat Indonesia justru dihadapkan pada kenyataan harga beras dalam negeri terus merangkak naik.
Saadiah mengatakan persoalan ini bukan semata akibat faktor global.
“Ini ironis. Saat harga beras dunia turun karena kelebihan pasokan, harga beras di dalam negeri justru melonjak. Ini membuktikan ada yang tidak sinkron antara dinamika global, dan sistem distribusi pangan nasional kita,” ujar Saadiah dalam keterangan pers di Jakarta, dikutip pada Sabtu (17/5/2025).
Menurut data dari organisasi pangan dunia FAO dan Bank Dunia, harga beras dunia pada April 2025 berada di kisaran US$343–415 per metrik ton, atau sekitar Rp5,5 juta hingga Rp6,6 juta per ton dengan kurs Rp16.000/US$.
Harga ini menunjukkan penurunan hingga 22 persen dibandingkan tahun lalu. Penurunan disebabkan oleh membaiknya produksi global, dibukanya kembali ekspor oleh India, dan melemahnya permintaan dari negara-negara importir besar, termasuk Indonesia.
Saadiah kemudian menyoroti sejumlah faktor yang diduga kuat menjadi penyebab lonjakan harga domestik, mulai dari lemahnya pengendalian rantai distribusi, keterlambatan penyerapan panen petani oleh Bulog hingga belum maksimalnya cadangan beras pemerintah (CBP) dalam meredam gejolak harga di pasar.
“Kalau harga gabah petani masih rendah, tapi harga beras konsumen mahal, maka jelas yang diuntungkan adalah tengkulak dan spekulan. Negara seharusnya hadir untuk menyeimbangkan, bukan justru membiarkan disparitas harga ini terus melebar,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia mendesak pemerintah untuk segera mengevaluasi strategi stabilisasi harga pangan, mempercepat serapan beras petani lokal, dan memastikan kebijakan penghentian impor tidak berdampak negatif terhadap ketersediaan dan keterjangkauan pangan masyarakat.
“Jangan sampai narasi swasembada malah menutupi kegagalan dalam menjamin harga wajar bagi rakyat. Indonesia memerlukan reformasi tata kelola pangan, bukan sekadar kebijakan jangka pendek yang menimbulkan euforia sesaat,” ujarnya.