Rasio Utang Tembus 40 Persen, Ekonom Kompak Ingatkan Jangan Ditambah

Rasio Utang Tembus 40 Persen, Ekonom Kompak Ingatkan Jangan Ditambah


Dari postur Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2026, terlihat jelas upaya untuk mempertahankan defisit anggaran yang cukup lebar. Risikonya, jumlah utang berpeluang membesar dalam waktu cepat.

Hal itu disampaikan ekonom dari Bright Institute, Awalil Rizky setelah mencermati KEM-PKF yang beberapa waktu lalu diketok palu di DPR. “Jika defisit APBN tetap lebar ke depannya, maka kemungkinan pemerintah menambal (defisit) dengan utang,” kata Awalil, Jakarta, dikutip Jumat (30/5/2025).  

Perkiraan ini, kata Awalil, melihat kepada penetapan pemerintah atas rasio defisit 2026 berada di kisaran 2,48-2,53 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Target sebesar itu, tidak jauh beda untuk jangka menengah 2027-2029.

“Padahal, sasaran rasio defisit 2026-2029 yang terlihat masih lebar. Rata-rata batas bawah 2,35 persen, dan batas atas 2,44 persen dari PDB. Sementara, rata-rata rasio defisit pada 2005-2014 hanya 1,19 persen. Artinya melebar defisitnya,” terang Awalil

Tidak dapat dipungkiri, kata dia, pemerintah membutuhkan pembiayaan jumbo untuk menambal defisit dari rendahnya pemasukan atau penerimaan ketimbang pengeluaran negara.

Nah, sumber dana untuk menambal defisit itu, rasa-rasanya bakal ditempuh pemerintah dengan menarik utang baru. Padahal, selama ini, pemerintah melakukan pembiayaan utang yang merupakan nilai bersih dari penarikan utang baru dikurangi pembayaran pokok utang lama.

“Akibatnya, pembiayaan (pembayaran) utang hampir selalu lebih besar dari defisit anggaran. Sebagai contoh, APBN 2025 yang sedang berjalan, defisitnya ditetapkan Rp616,19 triliun. Namun, pembiayaan utang mencapai Rp775,87 triliun,” beber Awalil.

Awalil menuturkan, data makro-fiskal KEM-PPKF, hanya menyajikan rasio pembiayaan anggaran. Sementara, rasio pembiayaan utang tidak disajikan. Hanya dinarasikan tanpa disebutkan berapa angkanya secara jelas.

“Perlu diketahui, realisasi rasio utang tahun 2024 mencapai 39,75 persen. Sedangkan target APBN 2025, menurunkannya menjadi 39,43 persen. Dari realisasi hingga April, ditambah glorifikasi program baru berbiaya besar, berpotensi melampaui 40 persen hingga akhir 2025,” ungkapnya.

Menurut data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), outstanding utang pemerintah per Maret 2025, mencapai Rp9.057,96 triliun. Jika dibandingkan dengan asumsi Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2024 sebesar Rp22.139 triliun, maka rasio utang terhadap PDB mencapai 40,91 persen.

Berdasarkan Undang-undang tentang Keuangan Negara, angka tersebut masih aman, karena di bawah ambang batas 60 persen.

Namun, banyak ekonom memperingatkan posisi utang pemerintah saat ini, berdampak kepada beratnya tekanan terhadap anggaran.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE), Yusuf Rendy Manilet, menilai permasalahan utama bukan kepada rasio utang semata. Namun, laju pertumbuhan dan implikasinya terhadap ruang belanja negara.

“Pertumbuhan utang kita lebih cepat dari pertumbuhan ekonomi dan kapasitas fiskal. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, rasio bunga utang terhadap penerimaan negara menunjukkan tren memburuk,” kata Yusuf.

Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin pun bersuara sama. Dia bilang, rasio utang yang sudah di atas 40 persen dari PDB, harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah. Apalagi sudah melenceng dari APBN 2025.  “Idealnya dijaga di bawah 40 persen PDB, apalagi target APBN 2025 dibatasi 37,8 hingga 38,7 persen,” ujarnya.

Kata Wija, sapaan akrabnya, indikator yang lebih mengkhawatirkan justru adalah rasio pembayaran utang (debt service ratio), yang kini mendekati 50 persen dari penerimaan negara.

“Yang lebih mengkhawatirkan adalah debt service ratio yang saat ini mendekati 50 persen. Sudah di atas threshold aman di level 25 hingga 30 persen. Dampaknya, biaya bunga akan meningkat dan refinancing utang akan makin menantang,” kata Wija.

 

Komentar