Pemerintah menargetkan lebih dari 1,7 juta peluang kerja dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034. Sebagian besar lapangan kerja ini disebut sebagai green jobs, pekerjaan yang mendukung transisi menuju energi bersih dan rendah karbon. Namun, pertanyaannya: apakah tenaga kerja Indonesia, khususnya generasi muda, siap mengisi peluang tersebut?
Koaksi Indonesia mencatat, 91% dari sekitar 836 ribu tenaga kerja di subsektor pembangkitan energi merupakan green jobs. Ini artinya, pekerjaan ramah lingkungan bukan lagi wacana masa depan, tapi sudah terjadi sekarang. Tantangannya justru pada kesiapan sumber daya manusia yang dibutuhkan.
“Transisi energi tidak cukup hanya membangun pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT). Kita juga harus membangun kapasitas manusianya,” kata A Azis Kurniawan, Manajer Advokasi Kebijakan Koaksi Indonesia dalam siaran persnya, Selasa (3/6).
Azis menyoroti bahwa meski ada semangat tinggi dari generasi muda — 76% responden dalam studi Koaksi Indonesia 2024 mengaku ingin bekerja di sektor yang berdampak positif bagi lingkungan — realitasnya mereka masih menghadapi hambatan besar. Minimnya pelatihan teknis, kurangnya akses informasi, dan belum kuatnya kebijakan menjadi ganjalan utama.
Untuk menjawab itu, pemerintah melalui Bappenas sebenarnya telah meluncurkan Peta Jalan Pengembangan Tenaga Kerja Hijau Indonesia pada April lalu. Namun Koaksi menilai implementasinya masih butuh dorongan konkret, terutama dalam bentuk pelatihan keterampilan di daerah, termasuk bagi masyarakat terdampak dari sektor energi fosil.
“Tanpa peta jalan yang terukur dan pelatihan yang tepat sasaran, peluang green jobs ini justru bisa menjadi eksklusif, hanya bisa diakses kelompok tertentu saja,” lanjut Azis.
Dalam data RUPTL, peluang terbesar penyerap tenaga kerja berasal dari proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dengan proyeksi 348 ribu orang, disusul PLTA (129 ribu), dan PLTP (42 ribu). Seluruh sektor ini memerlukan keahlian teknis baru yang belum banyak tersedia di pasar tenaga kerja saat ini.
Direktur Kemitraan Strategis dan Pengembangan Koaksi Indonesia, Indra Sari Wardhani, menekankan bahwa green jobs bukan soal jumlah saja, tapi juga kualitas pekerjaan.
“Kalau kita bicara EBT, maka kita bicara soal potensi lokal, kondisi sosial, dan kelestarian lingkungan. Maka pekerjaan yang diciptakan pun harus layak, menjunjung keberlanjutan, dan membuka akses bagi semua, termasuk yang termarjinalkan,” ujarnya.
Koaksi Indonesia mendorong pemerintah agar segera merumuskan strategi nasional reskilling dan upskilling berbasis roadmap green jobs yang sudah ada. Peran pemda, dunia usaha, dan institusi pendidikan harus aktif dilibatkan, termasuk mendorong vokasi dan magang yang ramah lingkungan bagi anak muda.
“Green jobs bisa menjadi jembatan menuju ekonomi hijau, tapi harus dirancang secara inklusif, adil, dan berkelanjutan,” tutup Indra.