Pakar Kebijakan Publik dari UPN Veteran-Jakarta, Achmad Nur Hidayat menyayangkan anggaran konsumsi untuk rapat menteri dan wakil menteri sebesar Rp171 ribu/orang. Sangat tidak adil karena masih banyak pegawai rendahan di daerah harus kerja sambilan, demi mencukupi kebutuhan hidup.
“Ini kebijakan yang tak memiliki sense of crisis. Apakah wajar, di tengah ketimpangan ekonomi dan beratnya tekanan fiskal, pemerintah malah menetapkan biaya konsumsi rapat Rp171 ribu per orang dan anggaran mobil dinas eselon I yang hampir Rp1 miliar untuk pejabat negara,” kata Achmad Nur di Jakarta, Kamis (5/6/2025).
Dia mempertanyakan, apakah kebijakan ini merupakan bentuk efisiensi seperti yang diklaim Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang dipimpin Sri Mulyani. Atau justru representasi dari mentalitas elitis yang belum sepenuhnya bersih dari budaya boros birokrasi.
“Pertanyaan ini mengemuka pasca terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 32 Tahun 2025 yang mengatur Standar Biaya Masukan (SBM) Tahun Anggaran 2026,” ungkapnya.
Dalam aturan tersebut, konsumsi rapat untuk pejabat setingkat menteri, wakil menteri(wamen) serta eselon I, maksimal sebesar Rp171.000 per orang. Terdiri atas Rp118.000 untuk makan, sisanya Rp53.000 untuk kudapan alias cemilan.
“Bayangkan, sebuah meja rapat berpendingin udara di kementerian, di mana para pejabat duduk mengelilinginya, sambil menikmati makanan dan kudapan Rp171 ribu, kita harus bertanya: berapa anak miskin yang bisa diberi makan bergizi dengan jumlah uang yang sama,” ungkapnya.
Selanjutnya dia menganalogikan negara seperti sebuah keluarga besar. Di mana, pemerintah atau birokrasi berperan sebagai orang tua, sedangkan rakyat diasumsikan sebagai anak-anak dari keluarga itu.
“Jika orang tua atau birokrasi mengalokasikan dana besar untuk kenyamanannya sendiri, sementara sebagian anak di rumah itu, masih banyak yang kelaparan. Maka, ada sesuatu yang keliru dalam prioritas pengelolaan rumah tangga tersebut” bebernya.
Dia mengingatkan, uang negara adalah uang rakyat. Setiap rupiah yang dibelanjakan negara, seharusnya melalui lensa etika. Acuannya sederhana saja, apakah memberi manfaat besar kepada masyarakat.
“Dalam moralitas kebijakan publik, efisiensi bukan hanya soal hemat pengeluaran. Namun tentang bagaimana mengalihkan sumber daya kepada mereka yang paling lemah, paling terdampak, dan paling membutuhkan kehadiran negara,” imbuhnya.
Kebijakan uang konsumsi rapat menteri dengan wamen sebesar Rp171 ribu/orang, menjadi problematik bukan karena nilainya semata. Namun karena mencerminkan disonansi moral dalam manajemen anggaran.
“Ketika program makan bergizi gratis untuk anak sekolah, masih dirancang dan diuji coba, konsumsi rapat elit birokrasi sudah lebih dulu dilindungi dan dirinci secara presisi,” pungkasnya.