Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap dugaan praktik pemerasan dalam pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) tidak hanya terjadi pada periode 2019–2024, tetapi telah berlangsung sejak 2012.
Tiga menteri yang menjabat dalam rentang waktu tersebut adalah Muhaimin Iskandar atau Cak Imin (2009–2014), Hanif Dhakiri (2014–2019), dan Ida Fauziyah (2019–2024). Ketiganya merupakan politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
“Praktik ini bukan hanya dari 2019, dari hasil proses pemeriksaan yang KPK laksanakan memang praktik ini sudah mulai berlangsung sejak 2012,” kata Plh Direktur Penyidikan KPK, Budi Sukmo Wibowo, kepada awak media di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (5/6/2025).
KPK membuka kemungkinan untuk memanggil para eks menteri tersebut guna memberikan klarifikasi terkait penyidikan kasus dugaan pemerasan atau penerimaan gratifikasi ini.
“Kemudian, sama terkait menteri, apakah ada KPK potensi sampai ke menteri atau melakukan klarifikasi kepada menteri, tentunya sama dugaan ini ada. Ini merupakan gratifikasinya diterima berjenjang, apakah ada petunjuk ke arah yang paling atas di kementerian tersebut sedang kami perdalam dalam proses penyidikan,” jelasnya.
Sebelumnya, KPK telah mengumumkan identitas para tersangka berikut jumlah dugaan aliran dana hasil pemerasan yang mereka terima, dengan total mencapai Rp53,7 miliar:
1. Haryanto (HY) – Dirjen Binapenta dan PKK (2024–2025): Rp18.000.000.000
2. Putri Citra Wahyoe (PCW) – Staf Direktorat PPTKA (2019–2024): Rp13.900.000.000
3. Gatot Widiartono (GTW) – Koordinator Analisis dan Pengendalian TKA Direktorat PPTKA (2021–2025): Rp6.300.000.000
4. Devi Anggraeni (DA) – Direktur PPTKA (2024–2025): Rp2.300.000.000
5. Alfa Eshad (ALF) – Staf Direktorat PPTKA (2019–2024): Rp1.800.000.000
6. Jamal Shodiqin (JMS) – Staf Direktorat PPTKA (2019–2024): Rp1.100.000.000
7. Wisnu Pramono (WP) – Direktur PPTKA (2017–2019): Rp580.000.000
8. Suhartono (SH) – Dirjen Binapenta dan PKK (2020–2023): Rp460.000.000
Selain delapan tersangka tersebut, KPK juga mencatat adanya aliran dana tambahan sebesar Rp8,94 miliar yang dibagikan kepada sekitar 85 pegawai Direktorat PPTKA sebagai uang “dua mingguan”. Dana tersebut juga digunakan untuk berbagai keperluan pribadi, termasuk pembelian aset atas nama pribadi maupun keluarga para tersangka.
Konstruksi Perkara
Kasus dugaan pemerasan dalam pengurusan RPTKA di Kementerian Ketenagakerjaan ini mengungkap praktik korupsi yang berlangsung secara sistematis dan terorganisir. RPTKA merupakan dokumen penting yang wajib dimiliki oleh setiap perusahaan yang ingin mempekerjakan tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia. Proses penerbitannya dilakukan melalui Direktorat PPTKA yang berada di bawah Direktorat Jenderal Binapenta dan PKK Kemnaker.
Modus pemerasan dilakukan secara berjenjang oleh para tersangka. Permohonan RPTKA hanya diproses oleh verifikator apabila pemohon telah memberikan sejumlah uang. Sebaliknya, permohonan dari pihak yang tidak membayar akan diperlambat atau bahkan diabaikan. Dalam sejumlah kasus, pemohon bahkan diminta datang langsung ke kantor Kemnaker dan hanya akan “dibantu” setelah menyetorkan dana ke rekening tertentu.
Pegawai Kemnaker juga mengatur jadwal wawancara Skype secara manual sebagai bagian dari proses pengajuan RPTKA. Jadwal tersebut hanya diberikan kepada pemohon yang bersedia membayar, sementara yang tidak, ditunda tanpa kejelasan. Padahal, keterlambatan penerbitan RPTKA dapat berujung pada denda harian sebesar Rp1 juta bagi perusahaan.
Para pejabat tinggi seperti SH, HY, WP, dan DA diduga memberikan perintah kepada verifikator seperti PCW, ALF, dan JMS untuk memungut uang dari pemohon. Dana hasil pemerasan itu kemudian dibagikan secara rutin, digunakan untuk membayar makan malam pegawai, serta dibelanjakan untuk kepentingan pribadi. Sebanyak 85 pegawai Direktorat PPTKA turut menikmati aliran dana tersebut.
Total dana hasil pemerasan diperkirakan mencapai sedikitnya Rp53,7 miliar. Namun hingga saat ini, baru sekitar Rp5,4 miliar yang telah dikembalikan ke negara melalui rekening penampungan KPK. Penyidik juga telah menyita sejumlah barang bukti, termasuk 13 kendaraan mewah serta dokumen milik agen pengurusan TKA. Penelusuran lebih lanjut masih dilakukan, termasuk kemungkinan adanya praktik serupa yang telah terjadi sebelum tahun 2019.