Mendengar kata ‘digitalisasi pendidikan’ seharusnya membuat kita bangga. Bayangkan anak-anak di pelosok negeri bisa belajar menggunakan perangkat canggih, guru-guru makin melek teknologi, dan pendidikan Indonesia langsung loncat pagar ke masa depan. Eh, ternyata, harapan setinggi langit itu malah dikhianati di tengah jalan.
Sepekan terakhir, media massa ramai mengungkap dugaan korupsi Program Digitalisasi Pendidikan Kemendikbudristek 2019-2022, saat dipimpin Nadiem Makarim. Anggaran fantastis Rp9,98 triliun itu, konon, sebagian menguap entah ke mana. Katanya, tim teknis diarahkan untuk mendewakan Chromebook, bukan berdasarkan kebutuhan riil.
Inilah yang terjadi di negeri ini. Digitalisasi ala-ala yang dipaksakan ujung-ujungnya hanya jadi ajang pesta pora. Digitalisasi pendidikan di Indonesia seperti memakai gincu tebal di wajah yang belum dicuci. Kelihatan cantik di luar, tapi dalamnya masih amburadul.
Digitalisasi seperti diterjemahkan dengan membagi-bagikan laptop, lalu berharap nilai matematika melonjak dan siswa tiba-tiba fasih coding. Ini bukan sulap. Digitalisasi adalah ekosistem menyangkut perangkat keras seperti laptop, proyektor, jaringan internet, perangkat lunak berupa aplikasi pembelajaran, hingga SDM (guru, teknisi, admin) yang paham konsep ini.
Digitalisasi berbicara tentang transformasi ekosistem pendidikan, mulai dari infrastruktur, kurikulum, metodologi pengajaran, hingga kesiapan SDM. Untuk itu butuh fondasi yang kuat untuk menerapkan digitalisasi pendidikan.
Mari kita jujur, upaya digitalisasi pendidikan seperti mau naik gunung tapi cuma bawa sendal jepit padahal tantangannya banyak. Memang menurut data Kementerian Komunikasi dan Digital, pemakai internet di Indonesia sudah mencapai 221 juta, setara 79,5 persen dari total populasi. Namun masih banyak masalah mengganjal. Salah satunya adalah internet yang masih lemot. Di kota besar internet bisa ngacir 5G, tapi di banyak daerah terpencil, sinyal internet ibarat barang langka.

Sedikitnya 13.000 desa belum memiliki akses internet serta masih ada 3.000 desa belum teraliri listrik. “Digitalisasi di pendidikan bisa bermata dua. Di satu sisi membawa kemajuan pendidikan tetapi di sisi lain memperlebar kesenjangan sekolah-sekolah di perkotaan dengan pedesaan,” ujar Darmaningtyas, pengamat pendidikan dalam sebuah diskusi di Gedung DPR, Mei lalu.
Direktur Rumah Literasi 45, Andreas menambahkan, kesenjangan pendidikan di daerah terpencil merupakan tantangan besar. “Masih banyak PR pemerintah terkait infrastruktur yang belum terselesaikan seperti akses listrik yang merupakan sumber daya primer dalam menjangkau seluruh negeri,” ucap Andreas.
Para guru juga masih banyak yang gagap teknologi. Kita berharap guru-guru bisa jadi digital wizard, tapi nyatanya banyak yang masih kelabakan ketika membuat presentasi dengan PowerPoint. Jangankan mengajarkan coding, buka email aja kadang masih minta tolong cucu. Pelatihan digital seringnya hanya untuk mengugurkan kewajiban, datang, duduk manis, terus pulang lupa semua.
Persoalan lainnya, laptop terbaru sudah di tangan, tapi materi belajarnya cuma kumpulan PDF hasil fotokopian? Ya sama saja bohong! Digitalisasi seharusnya bikin belajar jadi seru dan bikin penasaran, bukan hanya memindahkan buku fisik ke layar. Bayangkan jika digitalisasi itu diterapkan dalam sistem belajar fisika menggunakan virtual reality atau sejarah dengan gamification. Pasti keren.
Sementara dari sisi kurikulum belum lentur padahal harus bisa menyesuaikan perkembangan teknologi dan kebutuhan dunia. Aturan masih ribet malah bikin mandek bagi para guru berinovasi.
Yang membuat kita tambah geleng-geleng kepala adalah anggaran bocor. Triliunan rupiah digelontorkan, tapi ujung-ujungnya malah jadi bancakan. Kasus korupsi di era Nadiem Makarim ini menjadi bukti nyata bahwa digitalisasi rawan menjadi ajang korupsi. Ibarat mau bangun istana megah, tapi pondasinya malah digarong duluan.
Peran Dunia Pendidikan, Guru dan Siswa
Sudah saatnya bangsa ini menyusun langkah tepat untuk melakukan digitalisasi pendidikan. Sekolah atau kampus harus berubah menjadi laboratorium inovasi. Industri, komunitas, dan para ahli bergotong royong membangun ekosistem digital.
Para guru juga mau tak mau harus terus belajar memanfaatkan teknologi untuk membimbing siswa menjelajahi pengetahuan, bukan cuma meminta mereka mencatat dan menghafal. Guru harus berani mencoba membuat video pembelajaran sendiri, podcast edukasi, atau kuis interaktif dan menjadi kreator konten digital. Dijamin, siswa pasti lebih semangat!
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Lalu Hadrian Irfani menyoroti pentingnya pelatihan bagi guru, siswa, dan orang tua agar tidak hanya memiliki akses, tetapi juga mampu menggunakan teknologi secara efektif. “Kami sangat mendukung peningkatan kompetensi guru digital melalui program Pendidikan Profesi Guru (PPG), guru penggerak, atau pelatihan mandiri berbasis digital,” kata legislator dari PKB ini.

Sementara bagi para siswa, tak bisa lagi menyia-nyiakan teknologi yang sudah berkembang di depan mata. Jangan hanya untuk nge-game atau scroll TikTok, manfaatkan teknologi untuk jadi pintar. Smartphone di tangan bukan cuma buat mabar atau stalking gebetan. Gunakan untuk riset, belajar hal baru, atau bikin proyek keren. Jadilah generasi produktif, bukan cuma konsumtif.
Digitalisasi Bukan Cuma Beli Laptop
Melihat negara-negara maju, digitalisasi pendidikan bukan sekadar tren, namun sudah menjadi filosofi. Lihat saja Estonia yang sering disebut sebagai ‘negara digital’, mengintegrasikan teknologi di hampir setiap aspek pendidikan. Mulai dari pendaftaran sekolah online, buku pelajaran digital, hingga sistem penilaian yang terkomputerisasi.
Mereka fokus pada keterampilan abad 21 dan pemanfaatan teknologi untuk mendukung pembelajaran pribadi. Menariknya, Estonia punya sistem identitas digital yang memungkinkan semua warganya mengakses layanan pemerintah, termasuk pendidikan, secara online dan aman.
Demikian pula Finlandia yang dikenal memiliki sistem pendidikan progresif, menekankan pendekatan holistik dalam digitalisasi. Mereka tidak hanya fokus pada perangkat keras, tetapi pada bagaimana teknologi bisa mendukung pembelajaran berbasis fenomena, kolaborasi, dan kreativitas. Guru-guru di Finlandia terlatih mengintegrasikan teknologi secara efektif ke dalam kurikulum. Mereka percaya teknologi adalah alat memperkaya pengalaman belajar, bukan pengganti interaksi manusia.
Sementara tetangga kita Singapura punya visi ‘Smart Nation’ yang kuat. Singapura mengadopsi pendekatan ‘blended learning’ yakni penggabungan pembelajaran tatap muka dengan online. Mereka berinvestasi besar pada infrastruktur TIK di sekolah, pelatihan guru, dan pengembangan konten digital berkualitas tinggi. Fokusnya adalah pada pengembangan keterampilan berpikir komputasi dan kesiapan siswa menghadapi masa depan yang didominasi teknologi.
Yang unik dan berbeda adalah Swedia. Beberapa waktu lalu, Swedia sempat diberitakan akan mengurangi penggunaan tablet dan laptop di sekolah kemudian kembali menekankan pentingnya buku cetak. Kenapa? Karena mereka sadar, terlalu banyak berada di depan gadget bisa membuat anak-anak mager nulis tangan, susah fokus, dan kehilangan sentuhan manusia dalam belajar.
Swedia menyadari bahwa penggunaan teknologi yang berlebihan, terutama pada usia dini, dapat berdampak negatif pada perkembangan kognitif dan motorik anak. Menteri Pendidikan Swedia Lena Johansson menyebutkan perangkat digital tetap diperlukan namun sebagai pelengkap, dan bukan menggantikan buku cetak.
Ini seperti sindiran halus bagi Indonesia yang seringkali tergila-gila dengan perangkat keras tanpa memikirkan dampaknya. Swedia mengajarkan bahwa digitalisasi itu tidak berarti semua harus serba digital sampai lupa esensi belajar. Ada kalanya, sentuhan fisik, seperti memegang buku dan menulis dengan tangan, tetap penting. Digitalisasi harusnya menjadi pelengkap, bukan pengganti.

Pemerintah Indonesia sudah meluncurkan program digitalisasi pendidikan yang baru saat peringatan Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei 2025 lalu salah satunya menghadirkan smart classroom atau kelas cerdas. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti mengatakan siap membagikan 15.000 smart board atau papan tulis interaktif guna memperkuat digitalisasi pada kegiatan belajar mengajar di sekolah.
“Alokasi anggarannya Rp2 triliun, dan Insya Allah tahun ini kami akan mulai realisasi untuk 15.000 satuan pendidikan,” kata Abdul Mu’ti. Program ini juga akan mengenalkan konsep deep learning di sekolah, termasuk pengenalan coding dan kecerdasan buatan (AI), sebagai bagian dari upaya mencetak generasi unggul yang adaptif terhadap teknologi.
Jangan lupa, program digitalisasi pendidikan yang baru ini harus bercermin pada kasus dugaan korupsi di era Nadiem Makarim. Ini bukan hanya soal uang rakyat yang hilang, bukan pula soal belanja perangkat yang lebih banyak menguntungkan produsen luar negeri tapi juga soal masa depan anak-anak bangsa di tengah perkembangan teknologi yang kian cepat.