Usut Kasus PGN, KPK Panggil Kepala BPH Migas hingga Eks Dirjen Migas

Usut Kasus PGN, KPK Panggil Kepala BPH Migas hingga Eks Dirjen Migas


Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil tiga orang saksi hari ini terkait penyidikan kasus dugaan korupsi dalam kerja sama jual beli gas antara PT Perusahaan Gas Negara (PGN) dan PT Inti Alasindo Energy (IAE) pada kurun 2017–2021.

Saksi yang dipanggil di antaranya adalah mantan Dirjen Migas Kementerian ESDM tahun 2021, Tutuka Ariadji, dan Kepala BPH Migas, Erika Retnowati.

“Menjadwalkan pemeriksaan terhadap saksi dugaan TPK terkait jual beli gas antara PT Perusahaan Gas Negara (PGN) dengan PT Inti Alasindo Energy (IAE) pada kurun waktu 2017–2021,” kata Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, dalam keterangan tertulis kepada wartawan di Jakarta, Senin (16/6/2025).

Turut diperiksa sebagai saksi, Direktur Gas BPH Migas, Sentot Harijady Bradjanto Tri Putro. Materi pokok pemeriksaan terhadap saksi akan disampaikan Budi setelah proses pemeriksaan selesai.

“Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan,” ujar Budi.

Sebelumnya, KPK telah menahan dua tersangka dalam kasus ini pada Jumat (11/4/2025), yakni mantan Direktur Komersial PT PGN periode 2016–2019, Danny Praditya (DP), dan mantan Direktur Utama PT Isargas periode 2011–2024, Iswan Ibrahim (ISW), yang juga menjabat sebagai Komisaris PT IAE sejak 2006 hingga 2024.

Dalam konstruksi perkara yang disampaikan Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, kasus ini berawal dari keputusan DP yang memaksakan pembelian gas dari PT IAE meski tidak tercantum dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) tahun 2017 serta tidak melalui prosedur tata kelola yang semestinya.

DP disebut menginisiasi kerja sama tersebut melalui bawahannya tanpa melibatkan unit Pasokan Gas yang memiliki kewenangan dalam urusan suplai. Ia memerintahkan tim pemasaran untuk menyusun kajian dan menjalin kerja sama dengan grup ISARGAS, termasuk memerintahkan pembayaran uang muka (advance payment) sebesar 15 juta dolar AS.

Namun, dana yang dibayarkan pada 9 November 2017 itu tidak digunakan untuk pembelian gas, melainkan untuk menutup utang IAE/ISARGAS kepada pihak ketiga seperti PT Pertagas Niaga dan Bank BNI. Padahal, perjanjian kerja sama baru ditandatangani pada 2 November 2017, hanya sepekan sebelumnya.

Yang lebih memprihatinkan, jaminan fidusia yang diberikan hanya senilai Rp16 miliar, jauh lebih kecil dari potensi kerugian yang ditanggung PGN.

Meski hasil uji kelayakan (due diligence) pada tahun 2018 menyatakan ISARGAS tidak layak diakuisisi, kerja sama tetap dilanjutkan. Bahkan, skema jual beli gas bertingkat yang diterapkan dinilai melanggar Peraturan Menteri ESDM Nomor 6 Tahun 2016, sebagaimana ditegaskan oleh BPH Migas dan Kementerian ESDM.

Pada 2021, BPH Migas bersama Komisaris Utama PGN merekomendasikan penghentian kontrak dan menyarankan langkah hukum. Namun, kerugian telah terjadi. Pada Oktober 2024, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan negara mengalami kerugian sebesar 15 juta dolar AS akibat transaksi tersebut.

Sebelumnya, mantan Kepala BPH Migas, Fanshurullah Asa, juga telah diperiksa KPK pada Kamis (22/5/2025). Ia diperiksa terkait dugaan korupsi kerja sama jual beli gas antara PGN dan IAE yang merugikan negara hingga Rp240 miliar.

Ifan –sapaan akrabnya– keluar dari Gedung KPK sekitar pukul 17.00 WIB. Ia menyebut penyidik KPK menanyakan soal surat Kepala BPH Migas terkait larangan praktik niaga bertingkat.

Ifan menjelaskan bahwa surat tersebut diterbitkan pada 2 Desember 2020 untuk melarang PGN dan IAE melakukan jual beli migas karena dianggap merugikan negara.

“Pintu masuk KPK melihat ada niaga bertingkat ini dari awalnya surat BPH Migas tanggal 2 Desember 2020. Setelah itu bulan Januari, Menteri ESDM membuat teguran kepada dua perusahaan tadi, PT IAI sama PGN,” ungkap Ifan kepada wartawan.

Namun, kata Ifan, penyidik KPK memperlihatkan surat tertanggal 9 September 2021 yang menurutnya bukan dikeluarkan olehnya, karena pada saat itu ia sudah tidak menjabat lagi sebagai Kepala BPH Migas.

“KPK sudah dapat, KPK tunjukkan sama saya. Ini ada surat nih, bulan September tanggal 9 (2021). Saya bilang, mohon izin Bapak penyidik. Padahal saat itu saya bukan lagi sebagai Kepala BPH Migas. Awak sudah selesai, di tanggal 2 Agustus 2021,” jelas dia.

Kendati demikian, Ifan tetap memberikan penjelasan kepada penyidik bahwa surat tersebut bertentangan dengan surat yang pernah ia keluarkan sebelumnya.

“Jadi tanyalah jangan ke saya, kayak gitu. Tapi kalau ditanya sama saya, itu inkonsisten dengan surat bulan Januari yang menyatakan itu dilarang. Menegur teguran pertama tadi, baik ke IAI maupun PGN,” tuturnya.

Kasus ini mengindikasikan adanya dugaan pelanggaran sistem tata kelola perusahaan yang dilakukan secara sistematis oleh oknum internal PGN, dengan melibatkan pihak eksternal dari IAE dan grup ISARGAS. Proses hukum terus berjalan untuk mengungkap penyalahgunaan wewenang dalam kerja sama yang merugikan keuangan negara.

 

Komentar