Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Achmadi memaparkan sejumlah hal krusial mengenai substansi perlindungan saksi dan korban yang perlu diatur dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hukum Acara Pidana alias KUHAP.
Menurut Achmadi, perlu ada aturan jelas mengenai hak saksi dan korban yang tercantum dalam RUU KUHAP.
“Perlu dilengkapi dengan penambahan hak saksi dan korban yang belum diatur dalam KUHAP tersebut,” ucap Achmad di ruang rapat Komisi III DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (17/6/2025).
Pertama misalnya kata dia, di dalam Pasal 135 tentang hak saksi. LPSK mengusulkan ditambah 8 huruf. Pada huruf f menjelaskan mengenai saksi dan korban mendapat informasi mengenai perkembangan perkara, lalu huruf g mendapat informasi mengenai putusan pengadilan, huruf h mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan.
“Huruf n mendapat nasihat hukum, p mendapat tempat kediaman sementara, q memperoleh bantuan biaya sementara sampai batas perlindungan berakhir, r mendapat identitas baru, dan huruf s mendapat tempat kediaman baru,” tuturnya.
Kemudian pada Pasal 136, dirinya mengusulkan tambahan satu huruf w, yakni saksi dan korban dapat menyampaikan pernyataan dalam proses peradilan terkait dampak penderitaan korban, akibat peristiwa tindak pidana yang dialaminya.
“Ini menjadi penting, karena seiring dengan bagaimana adanya kekuasaan kehakiman yang mengatakan hakim juga wajib menggali, memahami, mengikuti nilai hukum dan rasa keadilan. Dan keterangan saksi yang ada selama ini di dalam proses peradilan, bukankah lebih cenderung kepada keterangan untuk kepentingan proses pembuktian sehingga penting adanya diatur tentang norma tersebut di KUHAP,” ungkap Achmadi.
Lalu bagaimana dengan pernyataan dampak kejahatan tersebut? Ia membeberkan materi berkenaan dengan dampak korban atau victim impact statement (VIS) sebagai hak korban, untuk berpartisipasi dalam proses persidangan merupakan salah satu bentuk perlindungan dan pemenuhan hak mendasar, korban kejahatan yang diberikan sistem peradilan pidana.
“Oleh karena itu, rekomendasi kami RUU KUHAP hendaknya mengakomodasi hak korban untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses peradilan melalui pernyataan dampak kejahatan. Ada tiga bagian pokok pernyataan dampak korban yakni deskripsi kondisi fisik yang diakibatkan oleh kejahatan, kondisi psikologis atau emosional yang diakibatkan kejahatan, dan kondisi kerugian finansial yang diakibatkan kejahatan,” kata dia.
Masukan norma terkait VIS dalam konteks pasal, Achmadi merasa perlu tambahan pasal. Barangkali, lanjut dia, di antara bab XIII dan bab XIV perlu disisipkan satu bab tentang penyampaian dampak kejahatan yang dialami oleh korban.
“Usulan rumusan dampak kejahatan juga kami usulkan ada 4 ayat, pertama dampak kejahatan yang dialami oleh korban dalam bentuk pernyataan tertulis. Ayat (2) surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat penderitaan korban sebagai akibat peristiwa tindak pidana yang dialaminya,” jelasnya.
Ayat (3) penderitaan korban yang dimaksud paling sedikit memuat tentang kondisi fisik, kondisi psikologis atau emosional, kondisi kerugian ekonomi dan/atau sosial, serta kondisi lainnya yang diakibatkan oleh tindak pidana.
Serta ayat (4) penyampaian dampak kejahatan yang dialami korban dapat menjadi pertimbangan bagi hakim dalam memutus perkara dengan mempertimbangkan korban beritikad baik.