Masih banyak yang percaya bahwa pendidikan adalah ruang netral, bebas nilai, steril dari kepentingan, dan semata-mata diarahkan demi mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun kenyataan berkata lain.
Pendidikan kita, sejak lama, telah dibingkai dalam logika kuasa: ditentukan oleh siapa yang berkuasa, untuk tujuan kekuasaan, dan kerap kali dengan mengorbankan kepentingan substantif pendidikan itu sendiri.
Dalam praktik kebijakan nasional, pendidikan lebih menyerupai arena eksperimen politik daripada ruang pertumbuhan nalar. Kurikulum berubah hampir secepat menteri berganti. Agenda “reformasi” datang silih berganti, mengklaim membawa pembaruan, namun nyaris selalu berakhir pada pengulangan struktur lama dengan nama baru.
Pendidikan bukan dibangun dari evaluasi pedagogis yang jernih, melainkan disusun berdasarkan logika siapa yang sedang memegang palu sidang.
Alih-alih menjadikan pendidikan sebagai jalan pembebasan dan pemerdekaan nalar, sistem yang ada justru memperkuat birokrasi administratif yang menekan. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, misalnya, tidak sepenuhnya mencerminkan amanat konstitusi.
Banyak pasal dalamnya memuat kompromi politik yang menggeser tanggung jawab negara kepada “peran serta masyarakat”, sebuah eufemisme yang membuka ruang komersialisasi dan liberalisasi pendidikan. Ini bukan sekadar kelalaian, melainkan hasil dari desain politik yang secara sadar memposisikan pendidikan dalam kerangka pasar.
Tak Pernah Hilang
Tak berhenti di situ, relasi antara pendidikan dan politik juga tampak dari bagaimana sekolah menjadi “sistem politik mikro”. Kurikulum tak lagi semata soal isi pengetahuan, melainkan arena tarik-menarik nilai, ideologi, dan representasi kekuasaan.
Pendidikan karakter, misalnya, kerap digunakan untuk membentuk generasi yang patuh, bukan kritis; tunduk, bukan berdaya. Ini sesuai dengan kerangka yang pernah dikritik Michael Apple sebagai “politik budaya pendidikan”, di mana pendidikan dijadikan alat untuk melanggengkan nilai-nilai dominan dalam masyarakat tanpa ruang diskusi.
Bagaimana dengan anggaran? Kita bisa melihat bahwa 20% APBN untuk pendidikan lebih banyak diserap oleh administrasi, proyek infrastruktur, dan skema tunjangan yang belum tentu berkorelasi dengan peningkatan mutu.
Sertifikasi guru menjadi contoh gamblang: dijalankan dengan orientasi insentif, bukan peningkatan kapasitas profesional. Guru dikejar angka, siswa dibebani indikator, dan sekolah didefinisikan sukses bila mampu memenuhi standar yang ditentukan dari pusat.
Terjabak Simbolisasi
Fenomena ini bukan monopoli Indonesia. Studi di Inggris menunjukkan bagaimana kebijakan gaji guru bisa berbeda tergantung partai politik yang berkuasa di otoritas lokal. Di Swedia awal abad ke-20, pergeseran kekuasaan dari tuan tanah ke kelompok buruh berbanding lurus dengan lonjakan investasi pendidikan.
Bahkan studi dari European University Institute menunjukkan bahwa rezim demokratis cenderung lebih mendukung pengembangan kemampuan berpikir kritis siswa, tetapi tidak otomatis menjamin kualitas akademik lebih tinggi dibanding negara otoriter. Politik tetap menjadi variabel utama.
Namun, perbedaan utama terletak pada kemauan untuk menjadikan pendidikan sebagai ruang kehidupan yang berkualitas. Dalam studi Quality of School Life and Student Outcomes in Europe, dimensi seperti dukungan guru, rasa aman, rasa diterima, dan semangat kerja sama terbukti berpengaruh signifikan terhadap hasil belajar.
Di Eropa, kualitas kehidupan sekolah menjadi indikator penting kebijakan pendidikan. Di Indonesia, dimensi-dimensi ini kerap tertinggal, karena fokus kita masih terpaku pada peringkat, sertifikasi, dan skor ujian nasional yang kini diganti nama namun tetap serupa pola.
Maka, alih-alih terpesona pada jargon-jargon baru semacam “merdeka belajar” atau “kurikulum berdiferensiasi”, kita perlu bertanya: siapa yang memerdekakan siapa? Siapa yang menentukan kurikulum? Dan siapa yang akhirnya diuntungkan?
Kita butuh pendidikan yang berpihak pada nalar, bukan kuasa. Yang mendorong pertumbuhan kritis, bukan repetisi doktriner. Yang membebaskan, bukan membentuk kepatuhan. Dan untuk itu, politik tak bisa hanya ditertibkan; ia harus ditantang.
Selama pendidikan masih menjadi alat kekuasaan, maka semua perubahan yang terjadi hanyalah variasi dari hal yang sama: pengaturan nalar demi kekuasaan, bukan demi kemanusiaan.