Konflik geopolitik yang memanas antara Iran dan Israel, dengan keterlibatan Amerika Serikat dinilai telah menimbulkan ancaman serius terhadap stabilitas ketahanan pangan Indonesia.
Anggota Komisi IV DPR RI, Johan Rosihan, menegaskan situasi ini telah menjelma menjadi krisis global yang menuntut respons kebijakan cepat dan strategis dari pemerintah.
“Perang yang terjadi di Timur Tengah kini menjelma menjadi krisis global yang turut mengancam stabilitas harga pangan di dalam negeri,” ujar Johan Rosihan kepada inilah.com, Jakarta, Senin (23/6/2025).
Lebih lanjut, dia menyebut, imbas konflik tersebut harga minyak mentah global mengalami lonjakan. Meskipun data terkini per Mei-Juni 2025 menunjukkan harga minyak Brent berada di kisaran 79.21 dolar AS per barel dan Harga Minyak Mentah Indonesia (ICP) turun menjadi 62.75 dolar AS per barel. Sebelumnya ICP pada Mei 2025 sebesar 76.81 dolar AS per barel.
Menurutnya, volatilitas harga tetap menjadi risiko fundamental yang mengancam stabilitas biaya produksi dan distribusi pangan.
“Harga Brent pernah menyentuh 93 dolar AS per barel. Di Indonesia, ini artinya biaya distribusi pangan naik, transportasi terganggu, dan ongkos usaha tani melonjak. Petani kita menanggung beban ganda,” jelasnya
Di sisi lain, tekanan inflasi pangan juga menjadi perhatian serius. Johan menyebutkan daya beli masyarakat melemah akibat inflasi pangan yang mencapai lebih dari 2 persen dalam beberapa bulan terakhir.
Data BPS per Mei 2025 menunjukkan inflasi tahunan (yoy) sebesar 1,60 persem, dengan deflasi bulanan (mtm) sebesar 0,37 persen untuk kelompok makanan, minuman, dan tembakau. Meskipun demikian, inflasi komponen harga bergejolak (volatile food) pada April 2024 masih cukup tinggi, yaitu 9,63 persen secara tahunan.
Dia mengatakan, kenaikan harga ini secara langsung menyebabkan penurunan daya beli masyarakat, peningkatan angka kemiskinan, dan masalah gizi serta kesehatan, terutama di kalangan anak-anak.
Krisis pangan juga dapat memicu ketidakpuasan dan keresahan sosial, bahkan berujung pada protes atau penjarahan oleh kelompok masyarakat rentan.
“Kondisi ini memperlihatkan bahwa sistem pangan nasional kita masih sangat rentan terhadap guncangan global. Ketergantungan impor untuk komoditas strategis seperti kedelai, gandum, dan bawang putih semakin memperparah risiko ketahanan pangan,” tegas Johan.
“Data menunjukkan ketergantungan impor kedelai mencapai 78,44 persen, gandum hampir 100 persen, dan bawang putih mencapai 90,64 persen bahkan 95 persen pada Desember 2023,” sambung dia.