Ada ramalan yang tak mengenakkan dari World Bank alias Bank Dunia yang menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia sulit menembus 5 persen. Paling mentok 4,8 persen periode 2025-2027.
Ekonom dari Universitas Andalas, Syafruddin Karimi bilang, menghadapi ketidakpastian ekonomi dan geopolitik global, proyeksi Bank Dunia atas perlambatan ekonomi global termasuk Indonesia, harus disikapi dengan cepat dan tepat.
Dalam hal ini, belanja negara memliki peran krusial sebagai jangkar pertumbuhan dan penopang daya beli nasional.
“Ketika ekspor tertekan akibat proteksionisme baru seperti tarif tambahan dari Amerika Serikat, dan investasi swasta masih tertahan ketidakpastian global, serta risiko geopolitik, maka pengeluaran fiskal pemerintah menjadi penggerak utama yang paling diandalkan dalam menjaga momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia,” ujar Syarifuddin kepada Inilah.com, Jakarta, Selasa (24/6/2025).
Dia menjelaskan, belanja negara bukan hanya alat untuk menjaga aktivitas ekonomi tetap berjalan. Namun juga sebagai sarana distribusi daya beli ke sektor-sektor produktif dan lapisan masyarakat rentan.
Dalam konteks ini, dia mengatakan realisasi belanja yang cepat dan tepat sasaran lebih penting dibanding sekadar besaran anggaran.
“Pemerintah perlu mempercepat pencairan dana infrastruktur, memperkuat perlindungan sosial berbasis produktivitas, serta mengembalikan transfer ke daerah yang sempat ditunda. Setiap keterlambatan belanja pusat dan daerah berpotensi menunda putaran ekonomi riil, menekan konsumsi rumah tangga, serta memperburuk sentimen pelaku usaha,” katanya.
Dia menyampaikan, di tengah tekanan eksternal seperti potensi penutupan Selat Hormuz yang mendorong harga energi melonjak, cukup mengkhawatirkan. Karena berpotensi untuk melebarkan defisit transaksi berjalan. Untuk itu, belanja negara harus difokuskan kepada sektor yang menciptakan efek pengganda tinggi (high multiplier effect).
Misalnya, lanjut Syafruddin, proyek padat karya, penguatan rantai pasok pangan dan energi, serta digitalisasi layanan publik. Selain itu, integrasi belanja pusat dan daerah perlu ditata ulang agar tidak tumpang tindih dan lebih responsif terhadap tantangan sektor strategis seperti pertanian, manufaktur, dan pariwisata berbasis komunitas.
“Fungsi belanja negara juga menjadi lebih strategis karena mampu memberi sinyal keyakinan (confidence signal) kepada pasar. Ketika belanja negara direalisasikan secara disiplin dan berkualitas, investor cenderung lebih percaya bahwa pemerintah mampu menjaga stabilitas dan kesinambungan ekonomi. Dalam iklim global yang penuh ketidakpastian, keberanian fiskal pemerintah menjadi simbol kepemimpinan ekonomi yang tangguh,” jelasnya.
Ketika komponen pertumbuhan lain sedang tersendat, kata Syafruddin, belanja negara menjadi tumpuan utama untuk tetap menjaga ekonomi tetap stabil.
“Untuk menjaga mesin ekonomi tetap hidup dan mendorong pertumbuhan mendekati bahkan melampaui target 5,05 persen di tahun 2025. Guna mendukung semua itu, komitmen politik, disiplin birokrasi, dan efektivitas eksekusi anggaran harus menyatu dalam satu gerakan nasional: menggerakkan ekonomi dari pusat hingga desa,” tegasnya.
Pada Senin (23/6/2025), Lead Economist World Bank Indonesia dan Timor Leste, Habib Rab menyebut, tantangan utama pemerintah Indonesia adalah melemahnya daya beli. Alhasil, pertumbuhan ekonomi di Indonesia sulit bergerek di level 5 persen.
Rab menuturkan, pelemahan daya beli atau konsumsi di Indonesia, dipicu minimnya lapangan kerja di satu sisi, serta maraknya PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) di sisi lain.
Alhasil, laju konsumsi di Indonesia, menurut Bank Dunia terus tertinggal dari golongan kelas bawah atau termiskin, serta golongan kelas atas atau para orang kaya sejak 2019-2024.
Pada periode itu, Bank Dunia mencatat, sebanyak 40 persen masyarakat termiskin, mengalami peningkatan konsumsi 2-3 persen per tahun. Bisa terpenuhi lantaran pemerintah mengguyur bantuan sosial (bansos) dengan memperhitungkan inflasi. Sementara 10 persen kelompok terkaya mengalami peningkatan konsumsi tahunan sebesar 3 persen.
Untuk kelas menengah maupun calon kelas menengah, atau mereka yang berada dalam persentil ke 40-90 dari distribusi konsumsi, hanya mengalami pertumbuhan sekitar 1,3 persen per tahun.
“Artinya, kelas menengah justru semakin tertinggal. Ini tantangan besar bagi Indonesia, karena pertumbuhan kelas menengah adalah indikator pasar yang berkembang untuk barang dan jasa bernilai tambah tinggi serta canggih yang mendorong pertumbuhan ekonomi,” ucap Rab.