Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas (Unand) bersama koalisi masyarakat sipil mendorong agar adanya kodifikasi revisi Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
“Selama ini Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada dipisahkan. Dengan ada kodifikasi ini, sebenarnya membuat sistem pemilu kita berjalan lebih terintegrasi,” ujar pakar hukum sekaligus peneliti PUSaKO Unand Muhammad Ichsan Kabullah di Padang, Sumatera Barat, Senin (30/6/2025).
Ia menekankan, kodifikasi revisi UU Pemilu juga ditujukan agar tidak ada perbedaan persepsi antara pemilu dan pilkada itu sendiri, termasuk dari sistem penyelenggara.
Selain PUSaKO, kodifikasi revisi UU Pemilu juga mendapat dukungan dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan beberapa koalisi masyarakat sipil lainnya.
“Jadi, sebenarnya PUSaKO dan koalisi masyarakat sipil lainnya mendorong kodifikasi revisi Undang-Undang Pemilu, ada satu payung undang-undangnya,” jelas dia.
Menurut dia, hal tersebut juga sejalan setelah hakim Mahkamah Konstitusi lewat Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah.
PUSaKO melihat Mahkamah Konstitusi memberikan mandat moral kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering) melalui revisi terhadap UU Pemilu dan UU Pilkada.
“Revisi ini harus ditujukan untuk menata ulang sistem pemilu nasional dan lokal secara terpisah dengan tetap menjaga integritas proses, efisiensi pelaksanaan, dan kejelasan desain ketatanegaraan,” jelas dia.
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, kata Ichsan, harus dibaca sebagai peringatan serius bahwa status quo sistem pemilu telah capai titik kritis.
Apabila hal itu tidak segera direspons oleh pembentuk undang-undang, lanjut dia, kerusakan sistemik akan terus gerogoti kualitas demokrasi Indonesia.
“Oleh karena itu, revisi UU Pemilu dan UU Pilkada harus segera disusun secara komprehensif dengan pendekatan normatif, empiris, dan futuristik,” ujarnya.