Jakarta diguyur gerimis ketika langkah kaki menapaki pelataran belakang Taman Ismail Marzuki (TIM). Di balik rintik yang jatuh perlahan, dinding beton menjulang menyambut dengan warna-warni mural yang mencuri pandang.
Lima mural besar masih tersisa di sana—seolah menjadi saksi bisu masa ketika seni jalanan Jakarta lebih semarak dari sekarang.
Yang paling mencolok adalah lukisan sosok Raden Saleh. Sang maestro seni rupa Indonesia digambarkan tengah menyelesaikan sketsa kepala singa, dengan tatapan mata tajam yang seakan menembus zaman. Mural itu membentang di menara setinggi hampir 20 meter, berdiri megah di antara deru kota.
Lukisan ini merupakan hasil karya kolektif seniman Jakarta, digarap dalam rangka memperingati HUT ke-40 TIM pada 10 November 2018. Meski usianya hampir tujuh tahun, warna-warnanya masih menyala, menyuarakan semangat kreativitas yang tak lekang oleh waktu.
Ayumi, pengunjung asal Bogor, berhenti sejenak di depan mural Raden Saleh. Ia mengarahkan kamera ponselnya ke atas, lalu tersenyum puas.
“Daripada tembok-tembok dicoret-coret vandalisme yang enggak jelas, lebih baik seperti ini. Enak dilihat, bisa jadi spot foto, dan ada maknanya,” ujarnya kepada Inilah.com, Minggu (29/6/2025).
Ia berharap karya seperti ini tak hanya dipertahankan, tapi juga diperbanyak. “Kalau bisa hadir juga di taman-taman. Jakarta jadi lebih hidup dan artistik,” tambahnya.
Namun kenyataan di balik tembok-tembok kota tak selalu seindah bidikan kamera. Banyak mural yang kini tinggal kenangan—terhapus oleh pembangunan, peremajaan fasilitas, atau sekadar dianggap mengganggu estetika.
Petugas keamanan di TIM pun mengakui hal itu.
“Dulu lebih banyak mural di sisi-sisi lain, sekarang ya tinggal ini saja, Mas,” katanya sambil menunjuk ke lima mural yang masih bertahan.
Hilangnya dokumentasi visual mural-mural itu menjadi pekerjaan rumah yang tak kecil. Banyak karya yang menyimpan kritik sosial, identitas lokal, bahkan sejarah kota, hilang tanpa jejak.
Kini, teknologi menawarkan harapan baru. Lewat kecerdasan buatan visual seperti Google Veo, gambar statis dapat diolah menjadi video bergerak dengan kualitas tinggi. Tak sekadar efek digital, tapi pengalaman visual yang imersif—seolah membangkitkan narasi yang sempat membeku di tembok-tembok kota.

Saat fitur AI visual itu digunakan lewat kamera HONOR 400, mural Raden Saleh tampak hidup. Mulutnya bergerak, matanya menyiratkan pesan, seakan sedang berbicara kepada siapa pun yang menatap.
Saat fitur AI visual itu digunakan lewat kamera HONOR 400, mural Raden Saleh tampak hidup. Mulutnya bergerak, matanya menyiratkan pesan, seakan sedang berbicara kepada siapa pun yang menatap. Street art yang selama ini diam, kini bisa bersuara. Dan lewat ponsel di tangan siapa saja, seni di jalanan Jakarta menemukan napas baru.
Semua itu dimungkinkan berkat teknologi AI Image to Video hasil kolaborasi HONOR dengan Google Veo 2, yang memungkinkan gambar statis berubah menjadi video bergerak berkualitas tinggi. Kehadiran teknologi ini menjadi contoh bahwa inovasi digital tak harus menjadi rival bagi seni konvensional.
Justru, dalam konteks kekinian, AI mampu mendukung ekspresi kreatif para seniman, memberi dimensi baru pada karya, dan memperluas ruang apresiasi tanpa menghilangkan esensinya.
Street art yang selama ini diam, kini bisa bersuara. Dan lewat ponsel di tangan siapa saja, seni di jalanan Jakarta menemukan napas baru.
Munadianur, muralis sekaligus pengajar Seni Murni di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), punya pandangan tersendiri terhadap fenomena ini.
“Ini bukan sekadar transformasi bentuk visual dari statis ke dinamis. Ini bagian dari zeitgeist—jiwa zaman—yang sedang bergerak menuju era ketika batas antara medium analog dan digital makin cair,” ujarnya.
Baginya, kolaborasi seni mural dan AI bukan sekadar tren atau gimik digital. Ini adalah respons terhadap cara baru manusia memandang, merespons, dan menjalin relasi dengan gambar.
“Kalau dulu mural berhenti di tembok, sekarang ia bisa jadi portal menuju pengalaman yang lebih impresif—bergerak, bersuara, bahkan interaktif,” jelasnya.
Apakah ini peluang atau ancaman bagi seniman?
“Itu tergantung bagaimana kita menyikapinya. Kalau masih terjebak dalam romantisme medium, ini bisa mengganggu. Tapi kalau melihatnya sebagai perluasan medan bermain, maka mural bisa menembus ruang digital, menjangkau audiens lintas geografis dan generasi,” ujarnya lagi.
Transformasi ini, kata Munadianur, juga mencerminkan perubahan cara manusia belajar dan mengonsumsi budaya visual. Generasi hari ini tumbuh dalam ekosistem serba cepat, serba visual. Maka, membawa mural ke bentuk video atau augmented reality bukanlah pelecehan terhadap seni, melainkan perluasan napasnya.
Meski demikian, ia menegaskan bahwa teknologi, sehebat apa pun, tetaplah alat.
“Yang tidak boleh hilang adalah narasi, makna, dan kesadaran kritis. Teknologi hanya ekstensi dari kreativitas manusia—bukan penggantinya,” kata Munadianur.
Pada akhirnya, integrasi seni dan teknologi adalah keniscayaan. Ia bisa menjadi jembatan antara tradisi dan inovasi, antara ruang fisik dan ruang digital, antara masa lalu dan masa depan.
“Tapi arah dan kualitasnya tetap ditentukan oleh bagaimana kita merawat konteks, memahami ruh zamannya, dan bertanggung jawab atas pesan yang kita ciptakan,” pungkasnya.