Konser Ludes Bukan Bukti Ekonomi Baik, Tapi Kesenjangan yang Nyata

Konser Ludes Bukan Bukti Ekonomi Baik, Tapi Kesenjangan yang Nyata

Haris Medium.jpeg

Jumat, 11 Juli 2025 – 16:25 WIB

Konser Metallica di Stadion Utama Gelora Bung Karno Senayan, Jakarta, 25 Agustus 2013. (Foto: metallica.com)

Konser Metallica di Stadion Utama Gelora Bung Karno Senayan, Jakarta, 25 Agustus 2013. (Foto: metallica.com)

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp Inilah.com

+ Gabung

Pengamat Sosial dari Universitas Indonesia, Rissalwan Habdy Lubis menilai fenomena ludesnya tiket konser di tengah situasi ekonomi yang disebut memburuk merupakan potret nyata dari ketimpangan sosial yang semakin lebar di masyarakat.

Rissalwan tak menampik fenomena ini memang terkesan kontraproduktif. Di satu sisi banyak yang mengatakan, masyarakat sedang kesulitan ekonomi, tapi di sisi lain banyak yang tetap mengejar hiburan, misalnya melalui konser.

Namun, Rissalwan menggarisbawahi kalau masyarakat Indonesia bukan merupakan kelompok tunggal. Sebab, ada segregasi sosial yang membagi mereka berdasarkan kemampuan finansial dan pola konsumsi.

“Kalau saya mau kaitkan dengan statistik, di Indonesia yang masuk kategori orang susah, orang miskin itu ada di desil 1 sampai desil 4,” ujar Rissalwan kepada Inilah.com, Jakarta, Jumat (11/7/2025).

Ia menjelaskan, pembagian desil ini mengacu pada pemisahan populasi Indonesia ke dalam sepuluh kelompok berdasarkan tingkat pendapatan. 

Maka, 40 persen terbawah (desil 1-4) adalah kelompok yang paling rentan secara ekonomi karena tidak memiliki aset maupun sumber penghasilan tetap.

“Mereka tidak punya aset dan sumber pendapatan yang bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” jelasnya.

Sementara itu, lanjut Rissalwan, masyarakat yang tetap memburu tiket konser umumnya berasal dari desil 5 ke atas, yakni kelas menengah hingga menengah atas.

“Mereka ini, karena rutinitas harian yang melelahkan, tentu ingin mencari hiburan di luar aktivitasnya. Begitu ada tawaran konser, mereka cepat beli, bahkan rela war tiket,” lanjutnya.

Menurut Rissalwan, realitas ini juga pernah terlihat saat momen menjelang Lebaran, ketika masyarakat dari berbagai lapisan tetap mencari hiburan meskipun secara ekonomi sedang menurun.

“Sama seperti saat puasa dan Lebaran. Orang-orang yang susah tetap memaksakan diri untuk mencari hiburan. Selain mudik, mereka juga ke tempat wisata. Itu bentuk upaya escape dari tekanan hidup,” ucapnya.

Ia pun mengkritisi anggapan, semua orang yang membeli tiket konser adalah karena terdorong oleh fenomena FOMO (fear of missing out). 

Menurutnya, hanya kelas menengah ke atas yang punya waktu dan sumber daya untuk terjebak dalam tren semacam itu.

“Kalau soal FOMO, itu cuma berlaku untuk kelompok menengah ke atas. Mereka punya uang, lihat temannya beli tiket, ikut-ikutan. Tapi kelompok bawah? Mereka tidak sempat FOMO. Tapi mereka tetap butuh hiburan,” paparnya.

Rissalwan menegaskan menyamakan kondisi dan perilaku konsumsi antara orang kaya dan orang miskin adalah bentuk ketidakpekaan sosial. 

Orang miskin memang butuh hiburan, namun mereka tidak pantas kalau dianggap FOMO.

“Masa orang miskin yang kerja keras setiap hari enggak boleh butuh hiburan? Mereka juga butuh rehat, butuh menyenangkan diri. Tapi kalau dianggap FOMO, itu kurang elok. Karena mereka sedang berjuang berkali-kali lipat untuk hidup,” ujarnya.

“Yang FOMO ini cuma orang menengah ke atas saja. Jadi fenomena FOMO ini tidak untuk orang-orang yang struggling dalam hidupnya, berjuang keras,” ucapnya.

Topik
Komentar

Komentar