Setelah era panjang yang kelam di bawah arahan Zack Snyder, James Gunn diharapkan mampu menyuntikkan nyawa baru ke dalam karakter Superman lewat pendekatan yang segar, ceria, sekaligus bermakna.
Sebagai penonton yang telah menikmati suguhan visual dari IMAX di bioskop Jakarta, ekspektasi tinggi ini justru meninggalkan rasa kecewa mendalam usai menyaksikan film terbaru, Superman (2025).
James Gunn memang terkenal dengan gaya uniknya yang berhasil meramu aksi, humor, serta nuansa emosional dalam trilogi Guardians of the Galaxy dan The Suicide Squad. Namun, formula serupa gagal berfungsi secara efektif ketika diterapkan pada karakter Superman.
Gunn seolah kebingungan menentukan arah film ini: apakah harus menjadi film superhero yang cerah ceria, drama penuh refleksi sosial, atau sekadar parade aksi kosmik yang spektakuler. Akibatnya, film ini mengalami benturan tonal yang sangat mengganggu, sebuah “tonal whiplash” yang sulit untuk diabaikan.
Kisah yang Kehilangan Fokus
Dari segi cerita, Superman (2025) langsung melompat ke fase lanjutan kehidupan sang pahlawan tanpa menjelaskan dengan cukup latar belakangnya.
Konsekuensinya, penonton kesulitan terhubung secara emosional dengan karakter Clark Kent yang diperankan David Corenswet.
Meskipun Corenswet berhasil menangkap sedikit esensi nostalgia gaya Christopher Reeve, skrip dan pengarahan Gunn tidak memberinya ruang yang memadai untuk bersinar sepenuhnya.
Hal ini diperparah dengan upaya Gunn yang memaksakan hadirnya banyak karakter pendukung sekaligus. Ada Lois Lane yang diperankan Rachel Brosnahan, Lex Luthor versi Nicholas Hoult yang sesekali mencuri perhatian, Justice Gang yang diisi oleh Green Lantern (Nathan Fillion), Hawkgirl (Isabela Merced), Mister Terrific (Edi Gathegi), hingga Supergirl dan sejumlah karakter minor lainnya.
Akibatnya, fokus cerita berhamburan. Pertanyaan penting yang mengiringi sepanjang film bukan tentang bagaimana Superman bisa mengatasi tantangannya, melainkan apa yang sebenarnya ingin dicapai Gunn dengan narasi seramai ini.
Minim Momen Epik
Momen-momen krusial Superman sebagai sosok harapan pun gagal tersaji secara memuaskan. Walau kita disajikan dengan berbagai aksi pertarungan visual yang spektakuler di layar IMAX, Superman tak pernah mendapatkan momen ikonik yang menjadi penegasan kuat dari perjuangan maupun eksistensinya. Ketiadaan momen epik setara penyelamatan pesawat di Superman Returns atau momen heroik khas lainnya menyebabkan perjuangan Superman terasa hambar, nyaris tanpa tujuan emosional yang jelas.
Sementara itu, kehadiran Lex Luthor yang digambarkan oleh Hoult sebenarnya menawarkan potensi menarik. Ia berhasil menampilkan kesan bengis sekaligus jenaka dalam proporsi yang tepat. Sayangnya, skema besarnya dalam film ini terlalu dangkal untuk dapat dipercaya, bahkan untuk standar film adaptasi komik. Konflik yang dipresentasikan Luthor lebih menyerupai parodi ketimbang ancaman serius.
Visual Berlebihan
Di luar kekacauan cerita, aspek visual film ini juga memberikan pengalaman yang campur aduk. Beberapa adegan aksi memang memukau, terutama saat disaksikan di layar raksasa IMAX dengan kualitas suara yang menghentak. Akan tetapi, penggunaan CGI yang berlebihan dan warna film yang terlalu mencolok justru mengurangi kenikmatan menonton. Film ini kehilangan estetika visual yang elegan, berubah menjadi semacam iklan komersial berwarna-warni yang menyilaukan mata.
Yang paling mengecewakan adalah ketidakjelasan identitas film ini. Sebagai film yang diharapkan menjadi pondasi baru bagi semesta DC, Superman (2025) justru kembali mengulang kesalahan-kesalahan pendahulunya.
Alih-alih menawarkan pengenalan kembali karakter yang kuat dan sederhana, film ini malah tampak tergesa-gesa memperkenalkan sebanyak mungkin elemen untuk membangun semesta yang lebih besar di masa depan. Akibatnya, Superman sebagai ikon justru terasa seperti karakter sekunder di filmnya sendiri.

Satu-satunya elemen yang terasa autentik dan menghibur adalah interaksi Superman dengan anjingnya, Krypto. Lucunya, hubungan ini jauh lebih hangat dan otentik dibandingkan romansa antara Clark dan Lois, yang lebih banyak adegan menggangu dengan kissing scene membuatnya terasa dipaksakan dan minim chemistry.
Superman (2025) adalah film superhero yang sayangnya terjebak dalam bayangan besarnya sendiri. Alih-alih terbang tinggi dan membawa penonton dalam perjalanan emosional penuh inspirasi, film ini terbang rendah, terbebani oleh ambisi yang terlalu luas serta ketidakmampuan dalam menentukan tone dan pesan yang jelas.
Meski Gunn masih berpeluang memperbaiki semuanya di film berikutnya, film perdana ini gagal menjadi titik balik yang diharapkan oleh DC dan penggemar setianya.
Superman memang masih hidup, tetapi sayangnya kali ini ia gagal membuat kita benar-benar percaya bahwa ia mampu membawa harapan kembali ke layar besar.
Superman sudah tayang di Indonesia sejak 9 Juli 2025, pastikan untuk menyaksikan di layar IMAX untuk visual yang lebih maksimal melihat dunia sinematik DC.