Ilustrasi. (Desain: inilah.com/inu)
Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp Inilah.com
Sahdan Arya, 19 tahun, berdiri di ujung gang sempit Rawa Badak dengan satu molen dan Rp 23 juta dana swadaya warga. Bukan pidato panjang yang ia tawarkan, tapi jalan yang dicor sendiri. Sebagai mahasiswa semester empat Teknik Industri, dan kini Ketua RT termuda di Jakarta, ia menjawab keraguan warga—bukan dengan kata, tapi kerja.
Cerita Sahdan menyentak nalar kita yang terlalu sering menganggap RT dan RW sebagai pos administratif yang pasif, bahkan usang. Padahal, di tengah kompleksitas tata kota dan kebutuhan kolaborasi antarpihak, RT dan RW justru adalah simpul paling strategis. Mereka adalah jembatan antara negara dan warga, dan jika disetel ulang dengan benar, bisa menjadi pionir pemerintahan kolaboratif ala City 4.0.
Dalam konsep City 4.0, pemerintah berperan sebagai platform provider, sementara warga—seperti Sahdan—berperan sebagai co-creator (Foth, 2017). Tapi kita tahu, di banyak tempat, RT masih terjebak dalam fungsi sempit: pendataan, pengantar surat, atau sekadar pengumpul iuran.
Sejarah RT dan RW
RT dan RW memiliki sejarah panjang, mulai dari periode pendudukan Jepang di Indonesia (1942–1945). Pada saat Jepang berkuasa di Nusantara, Pemerintah militer Jepang mengeluarkan peraturan mengenai pembentukan aza, tonarigumi, dan kumiai, yang kurang lebih ekuivalen dengan RT dan RW saat ini.
Setelah Indonesia merdeka, azazyookai dan tonarigumi tidak serta merta dibubarkan, tetapi diadaptasi menjadi bentuk Rukun Kampung dan Rukun Tetangga (RK/RT). Perubahan tersebut diikuti fungsi yang berbeda. Jika sebelumnya RK dan RT berfungsi sebagai mobilisator untuk romusha dan pemenuhan kebutuhan penjajah, maka pada masa revolusi fisik fungsinya lebih sebagai dinamisator (Dwianto, 2000).
Dalam perjalanan selanjutnya, RK/RT semakin terikat pada birokrasi pemerintahan, baik di masa demokrasi terpimpin maupun saat rezim Orde Baru yang bergaya hegemonik. Kebijakan terkait RT dan RW di masa Orde Baru justru lebih mirip periode pendudukan Jepang sebagai instrumen kontrol, indoktrinasi, dan mobilisasi warga (Niessen, 1995).
Pasca gerakan reformasi yang diawali berakhirnya rezim otoritarian Orde Baru, pemerintah menghapus peraturan-peraturan yang tidak relevan lagi dengan paradigma otonomi daerah. Salah satunya adalah pencabutan Permendagri Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pembentukan RT dan RW. Meski demikian, setiap daerah diberikan kebebasan untuk mempertahankan, mengubah, maupun memodifikasi RT/RW sesuai kebutuhan (Dwianto, 2000).
RT dan RW sejatinya bukan entitas masyarakat sipil murni. Seperti Residents Committee di Singapura, chokai, jichikai, chonnakai di Jepang, Jūmín Wěiyuánhuì di China, dan bansanghoe di Korea Selatan, mereka adalah organisasi yang sekaligus lembaga partisipatif dalam masyarakat dan berhubungan dengan negara menjalankan berbagai tugas (Seo, 2002).
Read & Pekkanen (2004) menyebutnya “straddler groups”: bukan sepenuhnya organisasi sipil yang otonom, tapi juga bukan entitas negara yang tunduk. Di sinilah potensinya—karena RT dan RW adalah ruang sosial yang dapat menumbuhkan trust, bukan sekadar tugas administratif.
Reorientasi Peran RT dan RW
Kisah Sahdan menunjukkan bahwa jika diberi ruang, generasi muda mampu mengambil peran. Tapi akankah ini berhenti sebagai anomali? Atau dapat dijadikan katalis untuk menata ulang sistem kelembagaan RT dan RW?
Perlu reorientasi menyeluruh untuk menjadikan RT dan RW agen kolaborasi. Kita semestinya tidak sekadar menunggu, tapi menyiapkan Sahdan-Sahdan baru di banyak tempat.
Setidaknya ada tiga hal yang dapat dilakukan Pemprov DKI Jakarta. Pertama, dari sisi fungsi: warga harus diberikan mandat lebih luas untuk menginisiasi dan menggerakkan pembangunan berbasis swadaya dan aspirasi lokal melalui RT dan RW. Kedua, dari sisi kapasitas: pengurus RT/RW perlu mendapatkan pelatihan dalam manajemen komunitas, penggunaan teknologi informasi, hingga literasi anggaran.
Ketiga, dalam aspek pendanaan, RT/RW dapat didorong untuk lebih kreatif mendayagunakan sumber daya di wilayahnya. Dana operasional yang diberikan Pemprov DKI Jakarta melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sejatinya hanyalah stimulus yang tidak akan cukup untuk memenuhi berbagai kebutuhan di masyarakat.
Meski demikian, komitmen Gubernur Pramono Anung yang meningkatkan uang operasional RT/RW layak diapresiasi. Itu bukti nyata perhatian dan pengakuan terhadap eksistensi RT dan RW.
Ke depan, RT dan RW dapat menjadi critical mass—kelompok warga yang sadar akan masalah, punya visi ke depan, dan mampu menggerakkan komunitas. Namun, posisi strategis ini hanya bisa dicapai jika pemerintah tidak lagi memperlakukan RT sekadar “kepanjangan tangan”, dan mulai melihatnya sebagai mitra sejajar dalam membangun kota.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta saat ini punya peluang besar melakukan reposisi kelembagaan RT/RW. Kelembagaan desa yang memiliki Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) bisa menjadi referensi. Dengan cara ini, kelembagaan lokal tidak hanya hidup, tetapi juga berdampak langsung pada kualitas hidup warganya.
Akhirnya, apa yang dilakukan Sahdan adalah undangan. Undangan bagi kita semua—pemerintah, warga, akademisi, pembuat kebijakan—untuk menata ulang cara membangun dari bawah. Karena kota kolaboratif tidak dibangun di ruang rapat, tapi dimulai dari gang sempit yang dicor bersama.
Jika Sahdan bisa memulai, maka sistem harus mampu mengikuti.