Harga beras di pasar terus ‘menggila’ sepanjang 2025. Bahkan, angkanya sudah melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Ironisnya, lonjakan ini terjadi di saat klaim produksi beras dalam negeri disebut-sebut melimpah ruah. Ada apa ini?
Menurut pengamat pertanian kondang, Khudori, kondisi ini sama sekali bukan anomali. Ini murni konsekuensi dari kebijakan yang saling tabrakan dan gagal mengatur pasar.
“Saya melihatnya tidak ada anomali. Sebetulnya sangat jelas penyebabnya. Apa yang terjadi hari ini adalah dampak dari kebijakan perberasan yang dibuat pemerintah sejak Januari lalu. Kebijakannya buruk,” cetus Khudori, dalam forum diskusi yang digelar Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) via Zoom Meeting, Senin (14/7/2025).
Dosa-Dosa Kebijakan Pangan yang Bikin Beras Mahal
Khudori lalu membeberkan beberapa ‘dosa’ kebijakan pemerintah yang bikin harga beras tak terkendali:
1. Kenaikan HPP Tanpa Penyesuaian
Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional No 2/2025 menaikkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah kering panen dari Rp6.000 jadi Rp6.500 per kilogram. Masalahnya, kenaikan ini tidak dibarengi dengan penyesuaian HET untuk beras medium dan premium.
Alhasil, di tingkat petani harganya naik, tapi di pasaran HET-nya mandek. Pedagang pun terpaksa menaikkan harga jual agar tak rugi.
2. Beli Gabah Asal Tanpa Perhatikan Kualitas:
Ada Instruksi Presiden No 6/2025 yang ‘memaksa’ Bulog dan pihak swasta membeli beras dari petani tanpa peduli kualitas. Kebijakan ini justru mendorong petani panen dini dan menjual gabah “abal-abal” dengan kadar air tinggi.
“Terus terang, petani sangat diuntungkan dengan kewajiban ini. Tapi, ini kebijakan yang tidak mendidik. Kebijakan yang membuka perilaku culas, moral hazard. Itu terasa betul di awal-awal penyerapan, di Februari-Maret,” ujarnya pedas.
3. Stop Bantuan Pangan dan SPHP:
Sejak Februari 2025, pemerintah secara mengejutkan menghentikan sementara penyaluran bantuan pangan dan program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP). Padahal, dua kebijakan ini sudah disepakati dalam rapat terbatas bersama Presiden November 2024.
Jelas, penghentian ini bikin pasokan di pasar makin seret.
4. Bulog Timbun Stok, Pasar Kering:
Khudori juga menyoroti cara Bulog menyerap surplus produksi tapi tidak langsung menyalurkannya ke pasar. Akibatnya, pasokan di pasar menipis, sementara stok pemerintah justru mencetak rekor tertinggi. Ini ibarat punya banyak air tapi tidak dialirkan ke ladang yang kekeringan.
“Tugas pemerintah bukan hanya memastikan stok, melainkan juga mengendalikan harga,” tegasnya.
Pedagang Swasta Terjepit, Inflasi Mengancam
Kondisi ini makin membuat ratusan ribu penggilingan dan pedagang beras swasta terjepit. Bayangkan, dari total produksi nasional 18,76 juta ton (Januari-Juni 2025), mereka hanya menguasai sekitar 600 ribu ton.
“Kalau mereka menambah stok dengan membeli gabah dengan harga Rp7.000-8.000, itu pasti melampaui HET. Kalau menjual di atas HET, digaruk oleh Satgas Pangan. Kalau menjual sesuai HET, berpotensi rugi,” jelas Khudori.
Pasokan pedagang yang menipis ini berdampak langsung pada pasar. Jika biasanya pasokan normal, kini hanya tersisa sepertiga dari kondisi ideal. Tak heran, data BPS awal tahun ini menunjukkan beras sudah menjadi penyumbang inflasi utama. Ini alarm serius bagi ekonomi kita!