Nikah KUA: Bukan Hemat, Ini Soal Identitas

Nikah KUA: Bukan Hemat, Ini Soal Identitas

IMG_2891 (1).jpg

Jumat, 18 Juli 2025 – 12:05 WIB

Konten atau artikel ini tidak mewakili pandangan redaksi inilah.com

Ilustrasi pasangan suami istri nikah di KUA. (Dokumentasi: Angga)

Ilustrasi pasangan suami istri nikah di KUA. (Dokumentasi: Angga)

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp Inilah.com

+ Gabung

Dahulu, linimasa media sosial didominasi pesta pernikahan mewah selebritas dan crazy rich. Sorotan tak lepas dari gaun ratusan juta hingga dekorasi bak negeri dongeng yang mengundang decak kagum. 

Pernikahan seolah jadi panggung unjuk kemewahan, penanda status yang sering membuat masyarakat merasa “kurang” atau tertekan mengikuti standar tak realistis.

Namun, angin perubahan kini berhembus kencang. Di tengah hiruk pikuk digital, muncul fenomena menarik di Indonesia: meningkatnya popularitas pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA). Dulu, menikah di KUA kerap dicap “terpaksa” atau pilihan “darurat” akibat keterbatasan dana. Kini, pandangan itu digeser generasi muda. Akad nikah di KUA justru menjadi pilihan sadar, terencana, bahkan tak jarang dibanggakan oleh pasangan muda.

Fenomena ini semakin menarik ketika media sosial turut mengamplifikasinya. Pernikahan sederhana Zevana Arga (Idola Cilik 3) dan Yono Bakrie (Stand Up Comedian) di KUA, misalnya, jadi perbincangan hangat. 

Kesederhanaan yang mereka tampilkan menuai pujian dan menginspirasi banyak pasangan muda lainnya. Kontrasnya begitu terasa, di satu sisi, eksploitasi kemewahan pernikahan sebagai tontonan, di sisi lain, perayaan sakral yang intim dan fokus pada esensi. 

Dua kutub ini kini sama-sama mengisi ruang digital, namun dengan pesan yang bertolak belakang.

Apa di balik pergeseran ini? Apakah hanya soal hemat? Tentu, faktor ekonomi tak bisa dimungkiri. Namun, saya meyakini ada yang lebih mendalam. Ini adalah perlawanan terhadap norma sosial yang telah mapan. 

Artikel ini mengupas bagaimana tren menikah di KUA adalah manifestasi penolakan terhadap konsumsi mencolok (conspicuous consumption), sekaligus pembentukan identitas baru bagi pasangan muda yang ingin membangun rumah tangga dengan fondasi yang lebih esensial, realistis, dan berkelanjutan secara finansial.

Jebakan Kemegahan: Ironi “Pesta Sekali Seumur Hidup”

Mari kita akui, pesta pernikahan di Indonesia seringkali adalah ajang kemewahan berlebihan. Tengok saja elemen “wajib”: gedung megah, katering ribuan porsi, gaun desainer seharga DP rumah, hingga souvenir mewah. 

Semua ini bukan tentang fungsi, tapi tentang “pameran”. Ekonom Thorstein Veblen menyebutnya conspicuous consumption—pengeluaran untuk menampilkan kekayaan atau status. Semakin mahal pestanya, semakin “sukses” Anda di mata masyarakat, seolah kebahagiaan diukur dari biaya yang dihabiskan.

Terkadang, pernikahan menjadi arena perlombaan “keeping up with the Joneses”; mengejar standar kemewahan orang lain, di luar kemampuan. Tekanan untuk “menyamai tetangga”, “lebih baik dari yang lain”, atau “ini kan sekali seumur hidup!” melanggengkan conspicuous consumption

Ironisnya, dana pesta “sekali seumur hidup” sering berasal dari pinjaman, tabungan orang tua yang ludes, atau aset yang dijual. Mengingat pengorbanan orang tua banting tulang demi pendidikan anak, sungguh ironis jika “investasi” itu kini dilanjutkan dengan pengeluaran besar untuk pesta pernikahan, yang tak memberikan timbal balik nyata bagi masa depan pasangan. Yang tersisa bagi pasangan baru justru utang menumpuk, tabungan ludes, dan beban pikiran yang tak seharusnya ada di awal kehidupan mereka.

Tak heran, banyak anak muda kini menunda keputusan menikah, bahkan hingga usia lebih matang, semata karena terbentur besarnya biaya resepsi yang “layak” di mata masyarakat. 

Kondisi ini melahirkan dilema: antara keinginan memenuhi norma sosial dan keterbatasan finansial. Haruskah kebahagiaan berumah tangga diukur dari seberapa besar pesta, atau justru dari kekuatan fondasi ekonomi yang dibangun sejak awal?

Siapa Aku dalam Pernikahan: Tarikan Identitas Sosial

Lalu, mengapa kita seolah terjebak dalam lingkaran kemewahan yang membebani ini? Jawabannya bisa kita temukan dalam konsep ekonomi identitas (identity economics), yang digagas oleh para peraih Nobel, George Akerlof dan Rachel Kranton. 

Mereka berpendapat bahwa individu membuat pilihan tidak hanya berdasarkan insentif moneter, tetapi juga berdasarkan identitas mereka dan norma-norma yang terkait dengan identitas tersebut. Singkatnya, kita cenderung bertindak sesuai dengan “siapa kita” dan “bagaimana orang seperti kita seharusnya bertindak.”

Masyarakat kita, secara turun-temurun, mengkonstruksi identitas “pengantin ideal” yang terhubung erat dengan pesta pernikahan mewah. 

Mengadakan pesta besar adalah cara mengafirmasi identitas ini, diakui sebagai “orang dewasa,” “berhasil,” atau “mapan” oleh lingkungan sosial. Seolah, biaya pernikahan mahal adalah “harga” untuk “menjadi seseorang” dalam konstruksi sosial ini. 

Tekanan dari lingkaran sosial dan keluarga besar memperkuat norma ini. “Apa kata tetangga?”, “Nanti malu kalau cuma begitu saja,” atau “Ini kan sekali seumur hidup!” menjadi kalimat yang terus digaungkan, sering mengabaikan akal sehat finansial. 

Akibatnya, banyak yang merasa terjebak dalam ekspektasi tinggi, padahal hati kecil mereka mungkin menginginkan sesuatu yang lebih sederhana.

Akad KUA: Deklarasi Identitas dan Perlawanan Konsumsi Mencolok

Di sinilah letak revolusi senyap dari tren pernikahan KUA. Ini jauh melampaui sekadar efisiensi biaya, tetapi sebuah deklarasi identitas baru yang kuat dari pasangan muda Indonesia.

Pertama, pilihan menikah di KUA adalah penolakan aktif terhadap conspicuous consumption dalam konteks pernikahan. Pasangan secara sadar melepaskan keinginan pamer dan gengsi semu. 

Mereka berani menyatakan nilai pernikahan ada pada ikatan suci di hadapan Tuhan dan negara, bukan pada kemegahan resepsi yang fana. Dana yang dihemat dialokasikan untuk hal-hal yang lebih fundamental dan esensial.

Kedua, melalui pilihan ini, pasangan muda membangun identitas baru bagi diri dan keluarga mereka. Identitas ini mencakup:

  • Kecerdasan Finansial: Memprioritaskan tabungan, investasi awal (seperti aset produktif atau merintis usaha), dana darurat, atau uang muka rumah. Mereka berinvestasi pada masa depan, bukan pada “tontonan” sesaat.
  • Realisme & Pragmatisme: Berani bersikap realistis tentang kemampuan finansial dan menolak tekanan sosial. Ini sikap dewasa yang krusial.
  • Fokus pada Esensi: Menekankan makna sejati pernikahan adalah pada kualitas hubungan dan membangun keluarga yang sakinah, bukan pada kemewahan resepsi yang sering memicu stres.
  • Pemberdayaan Diri: Keputusan finansial sepenuhnya di tangan mereka, tidak didikte ekspektasi luar, memberikan rasa kendali besar di awal perjalanan rumah tangga.

Uniknya, media sosial, yang sering memicu conspicuous consumption, kini juga jadi platform bagi para “pejuang KUA” ini. Mereka bangga membagikan cerita pernikahan sederhana, menampilkan esensi kebahagiaan yang bukan karena materi. Ini menciptakan “komunitas” identitas baru dan bahkan bisa dianggap sebagai bentuk conspicuous frugality “pamer” penghematan yang justru dinilai cerdas dan menginspirasi banyak pihak.

Masa Depan Pernikahan: Antara Gengsi dan Substansi

Mengubah norma yang telah mengakar tidaklah mudah. Tantangan dan pandangan miring, terutama dari generasi tua, masih ada. Namun, tren pernikahan di KUA adalah sinyal kuat bahwa generasi muda kian sadar akan pentingnya fondasi ekonomi yang sehat dalam membangun rumah tangga. 

Ini bukan lagi tentang seberapa besar pesta, tapi seberapa kuat dan berkelanjutan keluarga yang dibangun.

Layaknya pendidikan yang membangun adab dan nalar, pernikahan pun demikian: esensinya adalah ikatan dan komitmen, bukan nominal pengeluaran. Dengan memilih akad di KUA, pasangan muda tidak hanya menghemat, tetapi juga membuat pernyataan budaya dan ekonomi yang kuat. Mereka meredefinisi makna “sukses” dalam pernikahan bukan lagi perayaan megah, melainkan fondasi kokoh untuk masa depan bersama.

Semoga tren ini terus menginspirasi lebih banyak pasangan untuk berani mendefinisikan kesuksesan pernikahan dengan cara mereka sendiri, yang lebih bijak secara finansial dan autentik secara identitas. Ini adalah langkah menuju masyarakat yang lebih realistis dan berdaya, dimulai dari sebuah akad sederhana di KUA.

Topik
Komentar

Komentar