Kuasa Hukum Marubeni Laporkan Dua Hakim Agung ke KY, Diduga Langgar Etik dalam Putusan PK

Kuasa Hukum Marubeni Laporkan Dua Hakim Agung ke KY, Diduga Langgar Etik dalam Putusan PK

Rizki Medium.jpeg

Jumat, 18 Juli 2025 – 21:58 WIB

Gedung Komisi Yudisial (KY). (Foto: Antara).

Gedung Komisi Yudisial (KY). (Foto: Antara).

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp Inilah.com

+ Gabung

Kuasa Hukum Marubeni Corporation melayangkan surat pengaduan ke Komisi Yudisial (KY) terkait dugaan pelanggaran etik oleh dua Hakim Agung, yakni Syamsul Ma’arif dan Lucas Prakoso, dalam penanganan perkara Peninjauan Kembali (PK) perdata Nomor 1362 PK/PDT/2024.

Pengacara Marubeni, R. Primaditya Wirasandi, dalam laporan tersebut meminta KY untuk memeriksa kedua hakim yang dimaksud. Surat Pengaduan itu, juga telah dikirimkan langsung ke Ketua Komisi Yudisial Amzulian Rifai.

“Memeriksa serta menindaklanjuti dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Hakim Agung Syamsul Ma’arif, S.H., LL.M., Ph.D. dan Hakim Agung Dr. Lucas Prakoso, S.H., M.Hum dalam memutus Putusan No. 1362 PK/PDT/2024 tanggal 16 Desember 2024,” kata Primaditya melalui keterangan yang diterima Inilah.com, Jumat (18/7/2025).

Selain meminta pemeriksaan, kata Primaditya, KY juga diminta untuk mendorong pembatalan putusan tersebut dan memprosesnya kembali, sekaligus memberikan perlindungan hukum kepada kliennya.

“Agar selanjutnya Putusan No. 1362 PK/PDT/2024 tanggal 16 Desember 2024 dibatalkan untuk diperiksa dan diadili kembali, satu dan lain hal demi terciptanya lembaga peradilan yang bersih dan demi tegaknya hukum di Indonesia,” lanjutnya.

Saat dikonfirmasi, Juru Bicara KY, Mukti Fajar, belum merespons terkait perkembangan laporan tersebut.

Tak hanya ke KY, tim kuasa hukum Marubeni juga mengirimkan surat keberatan ke Mahkamah Agung (MA). Surat tersebut ditujukan kepada Ketua MA, Prof. Dr. Soenarto, dan Ketua Kamar Perdata MA, I Gusti Agung Sumanatha, terkait penanganan perkara Nomor 1362 PK/PDT/2024.

Pihak Marubeni menilai para hakim dalam perkara tersebut melanggar Pasal 17 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

“Jika merujuk pada Pasal 17 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim agung tidak boleh mengadili perkara yang berkaitan dengan perkara sebelumnya. Apabila dilakukan, maka putusan tersebut tidak sah dan harus diadili kembali dengan majelis hakim agung yang berbeda,” ujar Nur Asiah, Kuasa Hukum Marubeni dari Law Firm Lucas & Partners, dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (24/12/2024).

Dalam surat tertanggal 23 Desember 2024 yang ditandatangani Nur Asiah dan Mochamad Ridha Avisena, disebutkan bahwa berdasarkan informasi dari situs https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id, susunan majelis hakim dalam perkara Nomor 1362 PK/PDT/2024 terdiri dari:Ketua Majelis: Syamsul Ma’arif, S.H., LL.M., Ph.D; Anggota I: Dr. Lucas Prakoso, S.H., M.Hum dan Anggota II: Agus Subroto, S.H., M.Kn.

Tim hukum Marubeni mengklaim, majelis tersebut pernah memeriksa perkara yang berkaitan pada tingkat PK sebelumnya.

“Berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri jika pernah menangani perkara terkait. Majelis dalam perkara ini melanggar ketentuan tersebut,” lanjut Nur Asiah.

Pihaknya meminta agar putusan perkara Nomor 1362 PK/PDT/2024 dinyatakan tidak sah dan diperiksa ulang oleh majelis hakim yang berbeda, demi tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia.

Sementara itu, Mahkamah Agung (MA) merespons surat protes yang dilayangkan Kuasa Hukum Marubeni. Juru Bicara MA, Yanto, mengaku baru mengetahui adanya surat tersebut dan akan menindaklanjutinya ke internal lembaga.

“Saya belum tahu suratnya, nanti saya tanya dulu suratnya ya,” ujar Yanto kepada Inilah.com, di Jakarta, Selasa (24/12/2024).

Menanggapi klaim pelanggaran Pasal 17, Yanto mengatakan bahwa seorang hakim diperbolehkan menangani perkara terkait, selama objek perkaranya sama, bukan subjek hukumnya. Ia mencontohkan pengalaman saat menjadi hakim tingkat pertama di Pengadilan Tipikor.

“Kalau terkait boleh. Contohnya saya, kasus Setya Novanto, terus mengadili Andi Narogong, saya mengadili di Mahkamah Agung itu boleh,” jelasnya.
 

Topik
Komentar

Komentar