Putusan Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) terhadap mantan Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong menuai kritik dari berbagai kalangan ahli hukum. Salah satunya dari pakar hukum dan pembangunan Universitas Airlangga Hardjuno Wiwoho. Ia menilai pertimbangan kerugian negara terkait kasus Tom Lembong seharusnya lebih perinci dan berbasis hitungan aktual.
“Dalam penetapan kerugian yang ada, yang muncul justru sebatas kutipan teori dan doktrin,” ujar Hardjuno dalam keterangan yang dikutip di Jakarta, Selasa (22/7/2025).
Hardjuno menyebutkan rujukan pertimbangan kerugian negara terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XI/2014 yang menyatakan keuangan badan usaha milik negara (BUMN), termasuk keuangan negara memang sah, namun tidak cukup dijadikan satu-satunya dasar untuk menjerat seseorang secara pidana.
Selain itu, dalam putusan, Tom Lembong dinyatakan terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Namun, menurut Hardjuno, terdapat kekosongan argumentasi mendalam soal pembuktian mens rea atau niat jahat dari Tom Lembong dalam kasus tersebut.
Padahal, dalam hukum pidana modern, seseorang dihukum karena dua unsur terpenuhi, yakni actus reus (perbuatan jahat) dan mens rea (niat jahat).
“Kalau mens rea tidak dibuktikan, dasar menjatuhkan pidananya jadi lemah,” ungkap Hardjuno menegaskan.
Lebih lanjut, dia menyoroti pula posisi diskresi yang dilakukan Tom Lembong saat menjabat sebagai mendag.
Hardjuno berpendapat keputusan kebijakan seperti impor gula memang bisa dinilai dari sisi administratif, tetapi tidak serta-merta bisa dijadikan dasar pemidanaan.
Untuk itu, Hardjuno menyarankan agar berbagai lembaga negara, termasuk lembaga peradilan, lebih hati-hati dalam menarik garis antara kesalahan administrasi dan tindak pidana.
“Pemisahan yang tegas itu penting agar penegakan hukum tidak keluar dari rel keadilan,” tutur Hardjuno.
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menetapkan kerugian negara dari kasus dugaan korupsi importasi gula di Kementerian Perdagangan (Kemendag) pada tahun 2015–2016, yang menjerat Tom Lembong sebagai terdakwa, sebesar Rp194,72 miliar.
Hakim anggota Alfis Setiawan menyatakan kerugian negara tersebut merupakan keuntungan yang seharusnya didapatkan oleh PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero) atau PPI dalam kegiatan importasi gula.
“PT PPI merupakan milik BUMN holding pangan ID Food, sehingga kerugian yang dialaminya merupakan kerugian negara,” kata Hakim ketika membacakan sidang putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat (18/7/2025).
Dengan demikian, majelis hakim tidak sependapat dengan dakwaan jaksa penuntut umum yang menduga adanya kerugian negara sebesar Rp578,1 miliar dalam kasus tersebut.
Dalam kasus tersebut, Tom Lembong divonis pidana selama 4 tahun dan 6 bulan penjara setelah terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi, yang merugikan keuangan negara sebesar Rp194,72 miliar.
Tindak pidana korupsi yang dilakukan Tom Lembong, antara lain dengan menerbitkan surat pengajuan atau persetujuan impor gula kristal mentah periode 2015–2016 kepada 10 perusahaan tanpa didasarkan rapat koordinasi antarkementerian serta tanpa disertai rekomendasi dari Kementerian Perindustrian.
Atas perbuatannya, Tom Lembong juga dijatuhkan pidana denda sebesar Rp750 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar, maka diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama 6 bulan.
Dengan demikian, perbuatan Tom Lembong telah melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Vonis yang dijatuhkan Majelis Hakim tersebut lebih rendah dari tuntutan jaksa, yakni pidana penjara selama 7 tahun. Namun pidana denda yang dijatuhkan tetap sama dengan tuntutan, yaitu Rp750 juta subsider pidana kurungan selama 6 bulan.