Horor! Pertempuran sengit antara tentara Thailand dan Kamboja di wilayah perbatasan yang sudah lama jadi ‘duri dalam daging’ kembali pecah pada Kamis (24/7/2025). Menurut otoritas Thailand, sudah 12 nyawa melayang. Ini bukan sekadar bentrokan biasa, tapi eskalasi serius dari sengketa yang sudah berumur satu abad antara dua negara tetangga di Asia Tenggara ini.
Thailand langsung bereaksi keras dengan menutup seluruh wilayah perbatasannya dengan Kamboja. Sementara itu, Kamboja tak kalah garang, mereka langsung memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Bangkok. Tuduhannya pun tak main-main: Thailand dituding menggunakan ‘kekuatan berlebihan’. Situasi ini jelas dalam ambang batas!
Baik Thailand maupun Kamboja sudah meminta warganya yang tinggal di dekat perbatasan untuk segera mengungsi dari zona bahaya tersebut. Sebuah tindakan darurat yang menunjukkan betapa seriusnya ancaman.
“Ini benar-benar serius. Kami sedang dalam proses evakuasi,” kata Sutian Phiwchan, seorang warga lokal di distrik Ban Dan, Provinsi Buriram, Thailand, yang berbatasan langsung dengan Kamboja, kepada BBC.
Suara panik dari medan perang.
Kenapa Thailand dan Kamboja Kembali Bertempur? Ini Akar Masalahnya
Mengutip BBC, Kamis, percekcokan wilayah perbatasan ini memang sudah mendarah daging, berawal lebih dari 100 tahun lalu. Tepatnya saat batas-batas kedua negara ditetapkan setelah penjajahan Prancis di Kamboja. Sebuah warisan kolonialisme yang terus jadi bara api.
Hubungan keduanya makin tegang pada 2008. Saat itu Kamboja mencoba mendaftarkan sebuah kuil abad ke-11 yang berada di wilayah sengketa sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO. Thailand, tentu saja, langsung protes keras. Sejak saat itu, bentrokan sporadis kerap terjadi, menewaskan tentara dan warga sipil di kedua belah pihak. Darah terus tumpah di tanah sengketa ini.
Pertempuran yang sedang berlangsung saat ini berawal ketika pada Mei lalu, seorang tentara Kamboja tewas dalam bentrokan. Insiden ini sontak membuat hubungan bilateral Thailand-Kamboja mencapai titik terendah dalam lebih dari satu dekade.
Dalam dua bulan terakhir, kedua negara sudah saling memberlakukan pembatasan ketat di perbatasan. Kamboja melarang impor buah-buahan dan sayuran dari Thailand, bahkan menghentikan impor layanan listrik dan internet. Sebagai respons, kedua negara juga telah memperkuat kehadiran pasukan di sepanjang perbatasan. Ini adalah spiral eskalasi yang mengkhawatirkan.
Sejarah Kelam Hubungan Thailand-Kamboja: Konflik tak Pernah Jauh
Ini bukan kali pertama ketegangan membara antara Thailand dan Kamboja. Setiap kali tensi meningkat, biasanya dipicu oleh sengketa perbatasan atau ketegangan politik. Mari kita intip sejarahnya:
– 1958 dan 1961: Kamboja memutus hubungan diplomatik dengan Thailand gara-gara sengketa Kuil Preah Vihear.
– 2003: Menyusul kerusuhan dan serangan terhadap Kedutaan Besar Thailand di Phnom Penh, PM Thailand saat itu, Thaksin Shinawatra, melancarkan Operasi Pochentong. Operasi militer ini mengevakuasi semua warga negara dan diplomat Thailand dari Kamboja, serta mengusir diplomat Kamboja sebagai balasan.
– 2008 dan 2011: Bentrokan militer kembali pecah di Kuil Preah Vihear.
– 2009: Thailand menurunkan hubungan diplomatik sebagai respons atas dukungan Kamboja terhadap mantan PM Thaksin Shinawatra, yang saat itu sedang diasingkan.
Ke Mana Arah Konflik Ini? Antara Keyakinan dan Kerapuhan Politik
Perdana Menteri sementara Thailand, Phumtham Wechayachai, mengatakan sengketa dengan Kamboja tetap ‘sensitif’ dan harus ditangani dengan sangat hati-hati, serta sesuai dengan hukum internasional. Sebuah pernyataan yang mencoba meredakan situasi, namun masih tersirat kekhawatiran.
Di sisi lain, Perdana Menteri Kamboja Hun Manet mengatakan negaranya ingin menyelesaikan sengketa secara damai. Namun, ia juga mengaku ‘tidak punya pilihan’ selain ‘menanggapi agresi bersenjata dengan kekuatan bersenjata’. Sebuah pernyataan yang ambigu, menunjukkan keinginan damai tapi juga kesiapan bertempur.
Secara historis, meskipun sering terjadi saling serang serius, situasi-situasi serupa di masa lalu relatif cepat mereda. Tapi kali ini, situasinya mungkin sedikit berbeda. Kedua negara, ironisnya, kekurangan pemimpin yang punya kekuatan dan keyakinan mutlak untuk mundur dari konfrontasi. Meski demikian, tampaknya pertempuran terkini tak akan meluas menjadi perang besar-besaran.
Hun Manet, putra dari mantan penguasa kuat Hun Sen, belum sepenuhnya punya otoritas sendiri. Ayahnya, Hun Sen, justru tampaknya bersedia memperdalam konflik ini untuk memperkuat reputasi nasionalisnya. Sebuah manuver politik yang berbahaya.
Di Thailand, pemerintahan koalisi saat ini tampak rapuh. Meskipun Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra disokong ayahnya, Thaksin Shinawatra (yang punya hubungan pribadi dekat dengan Hun Sen dan keluarganya), namun ia merasa dikhianati.
Ini karena keputusan Hun Sen membocorkan percakapan pribadi yang mengakibatkan Paetongtarn diskors sebagai perdana menteri oleh Mahkamah Konstitusi Thailand. Sentimen pribadi ini bisa jadi bumbu penyedap yang memperumit penyelesaian konflik.
Akankah diplomasi mampu mengalahkan genderang perang di perbatasan Thailand-Kamboja? Atau justru gejolak politik domestik kedua negara akan terus memicu api konflik? Kita semua berharap ada jalan damai segera ditemukan.