Fenomena ‘Rojali’ dan ‘Rohana’ Kuasai Mal, Ekonom: Pertanda Dompet Rakyat Makin Tipis

Fenomena ‘Rojali’ dan ‘Rohana’ Kuasai Mal, Ekonom: Pertanda Dompet Rakyat Makin Tipis


Direktur Ekonomi Digital Center of Economics and Law Studies (Celios) Nailul Huda, menyoroti fenomena rombongan jarang beli (Rojali) dan rombongan hanya nanya (Rohana).

Dia mengatakan, fenomena ‘rojali’ dan ‘rohana” merupakan cerminan pendapatan masyarakat yang terus menurun. Berpengaruh terhadap kemampuan belanja atau daya beli masyarakat.

“Salah satu faktor yang berpengaruh adalah faktor pendapatan masyarakat yang tengah menurun, namun masyarakat tetap butuh ‘hiburan’. Hiburan paling murah bagi masyarakat saat ini adalah jalan-jalan tanpa membeli,“ ujar Huda kepada Inilah.com, Jakarta, Selasa (29/7/2025).

Nailul mengakan fenomena ‘rojali’ dan ‘rohana’ juga dipicu perbedaan harga barang di pasar online dan offline. Di mana, harga barang di pasar online lebih murah ketimbang offline, sehingga memengaruhi pola belanja masyarakat.  “Faktor ini yang akhirnya mereka jalan-jalan, lihat-lihat, tanya-tanya, namun tetap belinya di online commerce,” jelas dia.

Meski ada potongan diskon dari pemerintah untuk meningkatkan daya beli masyarakat hal itu tak berpengaruh lantaran pendapatan masyarakat yang rendah.

“Maka harus ada dorongan dari sisi demand dengan meningkatkan pendapatan dengan menyediakan lapangan kerja yang luas. Banyak rombongan rojali dan rohana ini yang juga pengangguran,” ucapnya.

Sebelumnya, Ketua Umum (Ketum) Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja mengakui, aktivitas pengunjung mal atau ritel modern untuk berbelanja, meredup. Sebagian besar, ya itu tadi, kalau tidak bertanya ya hanya sekadar cuci mata.

“Saya kira di pusat perbelanjaan itu kan sifatnya offline. Kalau offline, pasti terjadi interaksi, tawar-menawar, nanya harga dan sebagainya. Saya kira itu umum, hal-hal yang wajar lah begitu,” ujar Alphonzus di Jakarta, dikutip Jumat (25/7/2025).

Dia berkelit, keberadaan ‘rohana’ justru mencerminkan peran pusat perbelanjaan dalam arti luas. Bukan sekadar tempat jual beli, melainkan sarana hiburan dan edukasi.

“Fenomena rohana karena salah satunya faktor daripada fungsi pusat belanja. Fungsi pusat belanja itu kan bukan cuma sekedar belanja, ada faktor edukasi, ada faktor entertainment-nya, ya hiburan dan sebagainya. Jadi inilah yang menyebabkan selalu ada fenomena rojali dari waktu ke waktu. Karena tadi, fungsi pusat belanja bukan hanya sekedar belanja,” jelas Alphonzus.

Meski tidak mempermasalahkan kehadiran pengunjung yang hanya bertanya atau melihat-lihat, Alphonzus mengakui, tren ini berdampak kepada performa penjualan tenant di mal.

Ia menyebut, omzet ritel mengalami penurunan akibat pergeseran pola belanja masyarakat. Ketika omzet turun maka penyewa gerai di mal, akan kesulitan membayar sewa. Terpaksalah mereka berhenti jualan di mal.

“Pasti (ada penurunan omzet), karena kan sekarang masyarakat kelas menengah bawah cenderung beli barang atau produk yang harga satuannya, atau unit price-nya murah. Itu terjadi penurunan, pasti. Karena kan tadi, harganya kan belinya cenderung produk-produk yang harganya satuannya murah,” ungkap dia.

Diperkirakan, pertumbuhan pusat belanja secara nasional pada 2025, masih akan positif. Meski tidak sekuat harapan awal. Pertumbuhannya diperkirakan hanya satu digit, atau di bawah 10 persen. Padahal, target pertumbuhan omzet yang semula dipatok pusat perbelanjaan berada di kisaran 20-30 persen.

“APPBI memprediksi tahun 2025 ini tetap tumbuh dibandingkan tahun lalu. Tumbuhnya, tapi tidak signifikan. Paling single digit. Single digit artinya kurang dari 10 persen. Tapi tetap tumbuh,” katanya.
    
 

Komentar