Sekolah Rakyat: Janji Pendidikan untuk Siapa?

Sekolah Rakyat: Janji Pendidikan untuk Siapa?


Presiden Prabowo Subianto dalam berbagai kesempatan menyampaikan wacana pendirian “Sekolah Rakyat”, sebuah konsep yang disebut akan memberikan pendidikan gratis dan bermutu bagi masyarakat bawah. 

Di tengah tantangan dunia pendidikan yang kompleks dan ketimpangan akses pendidikan yang masih nyata, gagasan ini tentu menarik dan patut diapresiasi. Namun, seperti halnya semua kebijakan besar, publik berhak bertanya: Apa isi dan arah sebenarnya dari Sekolah Rakyat ini?

Istilah “Sekolah Rakyat” bukan hal baru. Pada era kolonial dan awal kemerdekaan, sekolah rakyat merujuk pada pendidikan dasar yang terbuka bagi masyarakat pribumi. Ia adalah simbol perjuangan pendidikan rakyat kecil, jauh dari kemewahan, tetapi sarat makna keberpihakan. Maka, ketika istilah ini dihidupkan kembali oleh calon presiden, muncul harapan sekaligus kekhawatiran.

Apa yang Baru dari Sekolah Rakyat?

Jika Sekolah Rakyat hanya akan menjadi lembaga pendidikan gratis, pertanyaan mendasar adalah apa bedanya dengan sekolah negeri yang sudah ada? Apakah ia akan menggantikan, melengkapi, atau justru berjalan paralel dengan sistem pendidikan nasional yang telah mapan secara hukum dan struktur?

Jangan sampai wacana Sekolah Rakyat hanya menjadi solusi tambal sulam, mendatangkan gedung baru tanpa membenahi masalah lama, kurikulum yang tak relevan, kesejahteraan guru yang rendah, dan ketimpangan sarana antarwilayah. Kita tidak butuh gedung sekolah baru jika cara mengajarnya masih lama dan tidak memerdekakan siswa berpikir.

Lebih dari itu, publik perlu tahu, siapa yang akan menyusun kurikulumnya? Siapa gurunya? Dari mana sumber dananya? Dan apakah sekolah ini akan masuk dalam kerangka kebijakan nasional, atau hanya proyek khusus ala program unggulan presiden?

Jangan Duplicated State, Perkuat Sistem yang Ada

Indonesia saat ini tidak kekurangan sekolah. Tapi kita kekurangan pendidikan yang merata, bermutu, dan relevan. Masalah pendidikan kita bukan sekadar akses fisik, melainkan kualitas isi dan keadilan peluang.

“Kalau kita terus membuat sekolah baru tanpa membenahi sistem lama, kita tidak sedang membangun masa depan. Kita hanya sedang menciptakan dua jenis rakyat, yang beruntung masuk sekolah unggulan, dan yang tertinggal di sekolah biasa”. (Catatan pendidikan, 2022).

Akan lebih tepat bila Presiden Prabowo menjadikan Sekolah Rakyat sebagai metafora kebijakan pendidikan yang radikal dan berpihak. Misalnya:

  • Memberi insentif besar bagi guru di daerah tertinggal,
  • Reformasi kurikulum berbasis lokal dan karakter bangsa,
  • Digitalisasi pendidikan tanpa melupakan konteks budaya,
  • Revitalisasi PAUD dan pendidikan nonformal berbasis masyarakat.

Kalau memang ingin mengangkat rakyat kecil lewat pendidikan, jangan hanya bikin sekolah baru, benahi dulu yang lama.

Simbol atau Substansi?

Gagasan Sekolah Rakyat tentu bisa menjadi simbol keberpihakan terhadap wong cilik. Tapi kita harus hati-hati, jangan sampai pendidikan dijadikan panggung simbolik politik tanpa kejelasan visi. 

Pendidikan adalah proses jangka panjang. Ia tidak bisa dibangun dengan semangat proyek lima tahunan. Sekolah Rakyat bukan soal nama, tetapi arah.

Jika gagasan ini sungguh-sungguh dilandasi visi besar untuk membebaskan rakyat dari kebodohan dan ketimpangan, maka harus disusun bersama, melibatkan pendidik, akademisi, praktisi, dan tentu masyarakat sendiri.

Sekolah Rakyat bisa menjadi warisan penting pemerintahan Prabowo jika benar-benar dirancang sebagai kebijakan pendidikan yang adil, merata, dan membebaskan. Tapi ia juga bisa menjadi beban sejarah jika hanya jadi proyek politis tanpa substansi.

Sebagai rakyat, kita menaruh harapan. Tapi juga wajib mengawal agar harapan itu tak disalahgunakan. Karena pendidikan bukan milik kekuasaan. Ia milik masa depan bangsa.

Komentar