Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencecar ASN Bagian Visa di Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, Angga Prasetya Ali Saputra, terkait proses perizinan visa dan tempat tinggal bagi Tenaga Kerja Asing (TKA) yang bekerja di Indonesia.
Angga diketahui menjabat sebagai Kepala Seksi Pemeriksaan II Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Tempat Pemeriksaan Imigrasi Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang.
Pemeriksaan ini dilakukan untuk kebutuhan penyidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi berupa pemerasan dalam pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker).
“Jadi, sebagaimana kita pahami ya, ketika TKA ingin bekerja di Indonesia tentu selain butuh RPTKA yang diterbitkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan, juga membutuhkan visa dan izin tinggal. Nah semuanya itu kita dalami. Alurnya seperti apa, begitu ya proses-prosesnya,” kata Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, melalui keterangannya, Kamis (31/7/2025).
Budi menyebut, berdasarkan pemeriksaan saksi sebelumnya khususnya dari para agen penyalur TKA, ditemukan informasi bahwa kasus ini berkembang mengarah ke Ditjen Imigrasi. Namun, Budi enggan membeberkan lebih jauh bentuk temuannya terkait keterlibatan pihak Ditjen Imigrasi, apakah mengendus praktik serupa pemerasan atau pungli TKA di Kemnaker dalam pengurusan RPTKA dan di Ditjen Imigrasi dalam pengurusan visa dan tempat tinggal.
“Sebelumnya KPK telah memeriksa pihak-pihak dari Kementerian Ketenagakerjaan, memeriksa para agen penyalur TKA. Dari pemeriksaan-pemeriksaan itu kemudian diperoleh informasi dan keterangan yang terus berkembang,” ucap Budi.
“Sehingga KPK juga kemudian memeriksa pihak dari imigrasi untuk melihat, mendalami bagaimana mekanisme alur terkait dengan penerbitan visa, terkait dengan izin tinggal seorang TKA di Indonesia,” ucap Budi.
Sebelumnya diberitakan, KPK telah menahan delapan tersangka dalam perkara ini serta mengungkapkan aliran dana pemerasan yang diterima sejak 2019 hingga 2024 senilai Rp53,7 miliar.
1. Haryanto (HY) – Dirjen Binapenta dan PKK (2024–2025): Rp18 miliar
2. Putri Citra Wahyoe (PCW) – Staf Direktorat PPTKA (2019–2024): Rp13,9 miliar
3. Gatot Widiartono (GTW) – Koordinator Analisis dan Pengendalian TKA (2021–2025): Rp6,3 miliar
4. Devi Anggraeni (DA) – Direktur PPTKA (2024–2025): Rp2,3 miliar
5. Alfa Eshad (ALF) – Staf Direktorat PPTKA (2019–2024): Rp1,8 miliar
6. Jamal Shodiqin (JMS) – Staf Direktorat PPTKA (2019–2024): Rp1,1 miliar
7. Wisnu Pramono (WP) – Direktur PPTKA (2017–2019): Rp580 juta
8. Suhartono (SH) – Dirjen Binapenta dan PKK (2020–2023): Rp460 juta
Selain itu, terdapat dana tambahan sebesar Rp8,94 miliar yang diduga dibagikan kepada sekitar 85 pegawai Direktorat PPTKA dalam bentuk uang “dua mingguan”. Dana tersebut juga digunakan untuk kepentingan pribadi, termasuk pembelian aset atas nama para tersangka dan keluarganya.
Berdasarkan konstruksi perkara, kasus ini mengungkap dugaan praktik korupsi sistematis dan terorganisir dalam pengurusan RPTKA di lingkungan Kemnaker. RPTKA merupakan dokumen wajib bagi perusahaan yang ingin mempekerjakan TKA, dan proses pengurusannya berada di bawah Direktorat PPTKA, Ditjen Binapenta dan PKK.
Modus yang digunakan para tersangka melibatkan pungutan liar secara berjenjang. Permohonan RPTKA hanya akan diproses apabila pemohon menyetor sejumlah uang. Jika tidak membayar, proses diperlambat atau bahkan diabaikan. Dalam beberapa kasus, pemohon diminta datang langsung ke kantor Kemnaker dan baru akan “dibantu” setelah menyetor dana ke rekening tertentu.
Penjadwalan wawancara via Skype juga diatur secara manual dan hanya diberikan kepada pemohon yang membayar. Penundaan penerbitan RPTKA berisiko menimbulkan denda sebesar Rp1 juta per hari bagi perusahaan pemohon.
Pejabat tinggi seperti Suhartono, Haryanto, Wisnu Pramono, dan Devi Anggraeni diduga memerintahkan verifikator, antara lain Putri Citra Wahyoe, Alfa Eshad, dan Jamal Shodiqin, untuk melakukan pungutan terhadap para pemohon.
Dana hasil pungutan diduga dibagikan secara rutin kepada pegawai dan digunakan untuk kepentingan pribadi, termasuk jamuan makan malam. KPK mencatat sebanyak 85 pegawai Direktorat PPTKA diduga turut menerima aliran dana tersebut.
Dari total dugaan hasil korupsi sebesar Rp53,7 miliar, KPK menyatakan baru sekitar Rp8,61 miliar yang dikembalikan ke negara melalui rekening penampungan. Penelusuran masih terus dilakukan, termasuk terhadap kemungkinan praktik serupa sebelum tahun 2019.
Para tersangka disangkakan melanggar Pasal 12 huruf e atau Pasal 12B juncto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 64 ayat (1) KUHP.