Di tengah deretan aksi memukau, drama menyentuh dengan bumbu jenaka yang dibalut efek visual canggih, film Superman (2025) dengan tipikal Hollywood menjadi hiburan saya dan keluarga di akhir pekan lalu.
Dalam durasi film lebih dari dua jam tersebut, terselip cuplikan yang membuat saya tertegun — bukan karena semburan laser mata, bumi yang terbelah, atau konflik sosial kemanusiaan yang haru biru.
Justru karena sesuatu yang tampaknya konyol: ratusan, bahkan ribuan, monyet duduk di depan komputer, divisualisasikan sedang berada dalam pocket universe sambil mengetik propaganda penuh kebencian tentang Superman di berbagai platform media.
Monkey-bots, karakter ciptaan James Gunn sang sutradara, adalah satire tentang bagaimana narasi yang terdistorsi, komentar, tagar, dan kebisingan daring dapat mengendalikan persepsi publik. Dalam narasi film, ini menjadi metafora bagaimana kebenaran dapat ditenggelamkan oleh arus opini palsu yang terus diproduksi oleh aktor anonim dan algoritma tanpa nurani.
Dalam wawancara dengan Entertainment Weekly pada 18 Juli 2025, Gunn menegaskan bahwa adegan monkey-bots adalah satire. “Monkey-bots forever infesting Metropolis… creating mischief in the background,” katanya. Monyet-monyet itu bukan sekadar komedi gelap, melainkan sindiran tajam tentang rapuhnya realitas publik saat narasi dikendalikan oleh kebencian.
Menjaga Narasi dalam Pertarungan Makna
Tidak mengherankan jika kini pertarungan narasi menjadi proxy war tersendiri. Di tengah kecanggihan artificial intelligence (AI), kebenaran tak lagi hanya dikonstruksi dari fakta, tetapi juga oleh siapa yang lebih cepat, lebih nyaring, dan lebih terstruktur menyebarkannya — meski itu separuh benar, manipulatif, atau bahkan sepenuhnya salah.
Di era algoritma yang mengatur urutan informasi “yang ingin kita lihat” dan chatbot yang memproduksi narasi dalam hitungan detik, medan komunikasi bergeser dari ruang debat terbuka ke ruang privat yang dikurasi oleh platform, bukan meja redaksi. Sayangnya, itu terjadi dalam ruang-ruang yang dikuasai oleh persepsi, bukan realitas.
Keesokan paginya, saya membuka gawai dan langsung disambut notifikasi dari berbagai kanal media sosial.
Ada satu unggahan viral yang bukan berasal dari kanal resmi atau media kredibel, melainkan akun yang menyebarkan pernyataan dramatis: “Pemerintah Jual Data Pribadi, Abaikan Rakyat demi Kepentingan Investor Asing.” Kontennya dikemas sedemikian rupa, dengan latar musik menggugah, dalam konteks negosiasi tarif dagang Indonesia-AS, lengkap dengan foto pejabat dan angka-angka yang, jika ditelaah lebih dalam, sudah dipelintir dari data asli menjadi ilusi statistik semata.
Lebih mengejutkan lagi, dalam hitungan jam, unggahan tersebut memperoleh ratusan interaksi, komentar marah, ancaman, bahkan ajakan boikot. Padahal kebenaran faktual sudah dirilis pemerintah beberapa hari sebelumnya, lengkap dengan data valid dan narasi jelas.
Tidak kurang mulai dari Airlangga Hartarto (Menko Perekonomian), Prasetyo Hadi (Mensesneg), Meutya Hafid (Menkoinfo), dan Hasan Nasbi (Kepala Komunikasi Kepresidenan) menyatakan bahwa transfer data dilakukan dalam kerangka Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi yang hanya memperbolehkan perpindahan berdasarkan persetujuan individu (consent), serta bersifat komersial melalui perusahaan, bukan distribusi langsung negara.
Post-Truth: Ketika Emosi Lebih Berkuasa dari Fakta
Tantangan Humas Pemerintah saat ini bukan sekadar hoaks atau disinformasi, melainkan rezim persepsi yang kuat, di mana realitas menjadi sekunder dan emosi menjadi ukuran kebenaran. Ini ciri khas era post-truth: “Objective facts have become less influential in shaping public opinion than appeals to emotion and personal belief” — fakta objektif kalah pengaruhnya dibanding seruan emosional dan keyakinan pribadi.
Fenomena post-truth bukan istilah kosong. Oxford Dictionaries menjadikannya Word of the Year 2016 untuk menggambarkan kebenaran yang menjadi relatif. Dalam komunikasi publik, termasuk kehumasan pemerintah, narasi viral sering dipercaya lebih dari informasi resmi. Kebenaran dipertanyakan, sementara kebohongan yang dikemas apik diyakini.
Ditambah kecanggihan AI yang menjadi pisau bermata dua. AI memungkinkan penyebaran narasi palsu yang sangat meyakinkan dalam bentuk video deepfake, suara sintetis, dan text generator yang meniru gaya bahasa pejabat publik.
Dengan kemampuan microtargeting, pesan-pesan ini diarahkan ke kelompok tertentu yang sudah memiliki kecenderungan emosi dan prasangka.
Publik kini hidup dalam filter bubble dan echo chamber digital, istilah yang saling berkaitan untuk menjelaskan bagaimana algoritma menyaring informasi berdasarkan preferensi pengguna.
Eli Pariser (2011) menjelaskan, filter bubble membuat seseorang hanya melihat konten yang memperkuat pandangannya, sementara echo chamber memperkeras gema pandangan itu karena interaksi terbatas pada orang dengan pandangan serupa. Dalam ruang gema ini, fakta berbeda dianggap ancaman dan narasi alternatif dianggap kebohongan.
Saya pernah mengikuti percakapan daring di forum warga. Seseorang membagikan video dengan narasi bahwa Program Makan Gizi Gratis adalah proyek sia-sia yang menghisap anggaran. Saya mencoba memberi klarifikasi berdasarkan data valid, namun balasan yang diterima: “Terserah, sampeyan-kan pemerintah. Kalau kami percaya mata dan hati kami.”
Dari Distorsi Menuju Narasi Bermakna
Kondisi ini menjadi tantangan bagi Humas Pemerintah. Dahulu, tugas utama adalah menyampaikan informasi yang jelas dan akurat. Kini, tugas berkembang menjadi mengembalikan kepercayaan, membangun ulang logika publik, dan menyusun narasi yang mampu menembus kebisingan digital.
Pemerintah tidak tinggal diam. Dukungan pemangku kepentingan nyata terlihat lewat Program Literasi Digital Nasional: Indonesia Makin Cakap Digital yang menyasar 50 juta masyarakat, menyebarkan kemampuan digital, etika, keamanan, dan budaya digital, serta payung hukum untuk mencegah dan menghukum pelaku misinformasi.
Melalui Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi, literasi digital didorong ke berbagai daerah, menjangkau pelajar, ASN, masyarakat umum, dan komunitas, dengan tujuan memperkuat daya nalar digital.
Kebijakan seperti UU Informasi dan Transaksi Elektronik dan PP No. 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, serta kerja sama Kemenkominfo dengan platform digital untuk pemindaian konten dan transparansi algoritma juga menjadi bagian upaya.
Namun, tugas humas pemerintah bukan sekadar klarifikasi. W Lance Bennett dan Steven Livingstone dalam The Disinformation Order: Disruptive Communication and the Decline of Democratic Institutions (European Journal of Communication) menyatakan, “What appears from the outside to be false information may actually engage deeper emotional truths for members of rising movements that wilfully defy reason.” Informasi palsu bisa menyentuh kebenaran emosional yang dalam bagi kelompok yang sadar menolak nalar.
Kekuasaan informasi kini bukan terletak pada monopoli data, tapi pada kemampuan membentuk narasi. Di tengah konten artifisial dan manipulasi digital, tugas humas bukan hanya menjawab, tapi mengembalikan makna komunikasi publik.
Mengubah Strategi, Menjawab Kepercayaan
Humas pemerintah perlu mengubah pendekatan. Tidak cukup hanya siaran pers atau konten kreatif dengan diksi birokratis kaku.
Pesan publik harus dirangkai dalam narasi yang menghidupkan proses, bukan sekadar menampilkan hasil. Narasi penting untuk menunjukkan siapa yang berbicara, kepada siapa, dan bagaimana proses berlangsung, agar pesan terasa dekat dan bermakna.
Pendekatan ini sejalan dengan model komunikasi Harold D. Lasswell: Who says what in which channel to whom with what effect — komunikasi efektif memperhatikan penyampai, pesan, saluran, penerima, dan dampak.
Humas juga harus membuka ruang dialog sebagai strategi kunci meningkatkan keterlibatan publik melalui multi-stakeholders engagement, bukan sekadar “mengamankan citra,” tapi mendengar, mencatat, dan menjawab dengan tulus. Sebagian besar publik ingin merasa didengar dan dihargai, bukan hanya menjadi target komunikasi.
Dalam menjalankan peran strategis, humas pemerintah harus menyesuaikan diri dengan ekosistem komunikasi digital yang kompleks.
AI dapat menjadi alat bantu potensial, sebagai rekan kerja bukan pengganti akal sehat. AI membantu analisis sentimen, merancang konten, dan memprediksi viralitas, tapi akurasi data tidak menggantikan empati, dan algoritma tidak bisa meniru ketulusan. Di sinilah keunggulan manusia dan profesi humas pemerintah tidak bisa digantikan mesin.
Komunikasi publik bukan hanya soal kecepatan dan sebaran, tapi kredibilitas, transparansi, dan kejujuran yang berkelanjutan. Kebenaran yang disampaikan berulang kali secara manusiawi akan menembus dinding bias algoritma.
Kita tidak bisa melawan ekosistem digital dengan cara lama, tapi juga tidak harus menyerah pada mesin. Komunikasi jujur, terbuka, dan berbasis dialog adalah investasi jangka panjang, meski tidak selalu viral atau instan. Namun karena itu, ia akan bertahan.
Menutup tulisan ini, kita perlu merenungkan seruan Paus Fransiskus pada World Day of Peace 1 Januari 2024 yang makin relevan di era AI saat ini. Beliau mengingatkan: AI for humans, not humans for AI.
“Technological developments that do not lead to an improvement in the quality of life of all humanity, but on the contrary aggravate inequalities and conflicts, can never count as true progress…. Artificial intelligence ought to serve our best human potential and our highest aspirations, not compete with them.”
Dalam dunia yang semakin dibanjiri informasi, manipulasi, dan ilusi visual, tugas kita bersama memastikan teknologi berpihak pada kemanusiaan.
Narasi harus dipandu oleh nurani. Karena pada akhirnya, bukan mesin yang menentukan arah sejarah, melainkan keberanian manusia untuk berpikir jernih dan bertindak etis.