Mobil Alphard Milik Legislator Disita KPK terkait Kredit Fiktif PT SMJL di LPEI

Mobil Alphard Milik Legislator Disita KPK terkait Kredit Fiktif PT SMJL di LPEI


Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita satu unit mobil Toyota Alphard tahun 2023 bewarna hitam sebagai barang bukti dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi (TPK) terkait kredit fiktif di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).

Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, mengungkapkan bahwa mobil tersebut terdaftar atas nama perusahaan PT Sakti Mait Jaya Langit (SMJL), salah satu dari 15 debitur yang menerima kredit fiktif dari LPEI. Namun, Budi belum mengungkapkan identitas tersangka dari pihak PT SMJL.

“Bahwa pada hari ini telah dilakukan penyitaan, satu unit mobil berjenis Alphard tahun 2023 terkait perkara pemberian fasilitas pembiayaan dari Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Mobil ini terdaftar atas nama perusahaan milik tersangka,” kata Budi Prasetyo melalui keterangan tertulis kepada wartawan, Kamis (31/7/2025).

Lebih lanjut, Budi menyebut bahwa mobil tersebut disita dari seorang anggota DPR RI, meskipun identitasnya belum diungkap ke publik. Penyidik kini mendalami alasan mobil itu berada dalam penguasaan anggota dewan tersebut.

“Pada saat disita, mobil tersebut dalam penguasaan salah seorang anggota DPR RI. KPK tentunya akan mendalami mengapa mobil tersebut berada dalam penguasaan yang bersangkutan,” ucap Budi.

Sebelumnya, KPK juga telah mendalami dugaan pencairan kredit fiktif dari LPEI kepada PT SMJL. Untuk mengusut lebih lanjut proses persetujuan pencairan dana bermasalah itu, penyidik telah memeriksa dua mantan pejabat LPEI, yakni mantan Direktur Eksekutif LPEI, Ngalim Sawego, dan mantan Direktur Pelaksana IV periode 2014–2018, Arif Setiawan, pada Selasa (22/4/2025).

“Keduanya hadir. Didalami terkait dengan proses persetujuan pembiayaan kepada PT SMJL,” kata eks Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika, dalam keterangan tertulis kepada wartawan, Rabu (23/4/2025).

Sebelumnya lagi, penyidik juga telah memeriksa Hendarto, pemilik BJU Group sekaligus mantan Komisaris Utama PT SMJL, serta Kukuh Wirawan, mantan Kepala Divisi Pembiayaan I LPEI. Pemeriksaan dilakukan pada Senin (20/1/2025) untuk mendalami proses penerimaan dan pemberian fasilitas kredit.

“Saksi semua hadir. Saksi 1 (Kukuh) dan 2 (Hendarto) didalami terkait dengan penerimaan dan pemberian uang terkait pengajuan fasilitas kredit oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI),” jelas Tessa.

Hingga saat ini, KPK telah mengidentifikasi sebanyak 15 debitur yang menerima kredit fiktif dari LPEI, termasuk PT SMJL dan PT Petro Energy (PE).

“Sejauh ini sudah 15 karena ada pengembangan perusahaannya lagi,” kata Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, saat dikonfirmasi wartawan, Rabu (2/7/2025).

Budi menegaskan bahwa jumlah tersebut belum final karena KPK masih terus mendalami informasi yang berkembang. Ia menyebut masih ada potensi keterlibatan debitur lainnya.

“Masih akan terus berkembang tentunya karena setiap informasi dan keterangan yang diperoleh oleh penyidik KPK pasti akan didalami dan ditelusuri pihak-pihak terkait lainnya, termasuk dalam konstruksi perkaranya pasti akan dicermati,” ujarnya.

Pada tahap awal penyidikan, KPK menemukan 11 debitur terlibat dalam skema kredit fiktif. Akibat praktik tersebut, negara diperkirakan mengalami kerugian hingga Rp11,7 triliun. KPK juga menerima pelimpahan penanganan perkara dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait tiga debitur lainnya. Satu debitur tambahan juga masuk dalam perkara ini, meski asal pelimpahannya belum dijelaskan. Dengan demikian, total debitur yang terlibat sejauh ini mencapai 15 entitas.

Salah satu debitur yang telah ditetapkan sebagai tersangka adalah PT Petro Energy (PE). Tiga petinggi perusahaan tersebut, yaitu Presiden Direktur PT Caturkarsa Megatunggal sekaligus Komisaris Utama PT PE, Jimmy Masrin (JM); Direktur Keuangan PT PE, Susy Mira Dewi Sugiarta (SMD); dan Direktur Utama PT PE, Newin Nugroho (NN), telah ditahan sejak Maret 2025.

Sementara itu, dua tersangka dari internal LPEI, yaitu Direktur Pelaksana I, Dwi Wahyudi (DW), dan Direktur Pelaksana IV, Arif Setiawan (AS), hingga kini belum ditahan.

Ketiga petinggi PT Petro Energy (PE) dijadwalkan menjalani sidang perdana dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi (TPK) terkait penerimaan kredit fiktif dari LPEI pada Jumat (8/8/2025) pekan depan.

Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan bahwa dalam konstruksi perkara ini terdapat dugaan konflik kepentingan antara jajaran direksi LPEI dan debitur PT PE. Sejak awal, diduga terjadi kesepakatan yang mempermudah proses pemberian fasilitas kredit.

Menurut Asep, jajaran direksi LPEI tidak menjalankan fungsi pengawasan terhadap penggunaan dana sesuai dengan ketentuan Manajemen Aset dan Piutang (MAP). Bahkan, mereka disebut memerintahkan pencairan dana meski tidak memenuhi syarat kelayakan.

PT PE juga diduga memalsukan dokumen purchase order dan invoice sebagai dasar pencairan kredit yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya. Perusahaan itu bahkan diduga melakukan praktik manipulasi laporan keuangan (window dressing).

Dana kredit yang diterima PT PE tidak digunakan sesuai dengan perjanjian dengan LPEI. Akibatnya, KPK mencatat kerugian keuangan negara dari pemberian fasilitas kredit fiktif kepada PT PE mencapai Rp846.956.205.027 atau sekitar Rp846,9 miliar.
 

Komentar