Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyinggung jerih payah proses penanganan pusaran kasus Harun Masiku yang akhirnya menjerat Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, selama lima tahun terakhir. Hal ini disampaikan menyusul pemberian amnesti kepada Hasto oleh Presiden Prabowo Subianto.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menjelaskan bahwa kasus ini bermula dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK pada Januari 2020 terkait suap pengisian pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR di Komisi Pemilihan Umum (KPU).
“Kita tentu masih sangat ingat begitu ya, awal muasal dari perkara ini yang berangkat dari kegiatan tangkap tangan tahun 2020,” kata Budi kepada awak media di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (1/8/2025).
Budi menegaskan bahwa proses penanganan terhadap Hasto, mulai dari penyelidikan hingga penuntutan, telah sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku, dan juga melalui pengawasan etik oleh Dewan Pengawas KPK. Hasto ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus perintangan penyidikan dan pemberian suap terkait pengkondisian Harun Masiku menjadi anggota DPR di KPU, berdasarkan surat perintah penyidikan (Sprindik) tertanggal Senin (23/2/2025), dan ditahan pada Kamis (20/2/2025).
Perkara ini kemudian didaftarkan oleh Jaksa Penuntut Umum KPK, Surya Dharma Tanjung dan tim ke Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakpus, dengan nomor perkara 36/Pid.Sus-TPK/2025/PN.JKT PST pada Jumat (7/3/2025).
“Bahwa tidak hanya dilakukan sesuai dengan mekanisme dan kaidah-kaidah hukum, tapi juga KPK melakukan proses-proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan dengan standar etik KPK,” tutur Budi.
Budi menambahkan bahwa bukti keterlibatan Hasto dalam perkara perintangan penyidikan dan suap dinilai sangat jelas. Namun, majelis hakim Pengadilan Tipikor tingkat pertama hanya menyatakan Hasto terbukti melakukan pemberian suap, sementara perintangan penyidikan tidak terbukti. Hasto divonis 3 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp250 juta subsider 3 bulan kurungan, pada Jumat (25/7/2025).
“Bahwa kemudian dari alat bukti yang dikumpulkan, kemudian kita susun dakwaan, kita susun tuntutan, dan sampai dengan di persidangan, hakim juga sudah memutuskan bahwa dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh yang bersangkutan, dinyatakan terbukti, dan memutus atau memberikan divonis 3,5 tahun,” jelas Budi.
KPK pun mengajukan banding atas putusan tersebut. Namun, di tengah proses banding yang berlangsung hingga Jumat (1/8/2025), muncul kabar bahwa Presiden Prabowo Subianto telah memberikan amnesti kepada Hasto, pada Kamis (31/7/2025) malam. KPK menyatakan hanya bisa mengikuti keputusan tersebut dan akan membebaskan Hasto setelah menerima surat keputusan presiden (Keppres).
“Artinya alat bukti yang dikumpulkan oleh teman-teman di KPK, dinyatakan terbukti oleh Majelis Hakim. Dalam perjalanannya, KPK juga kemudian sudah menyiapkan dan menyampaikan untuk banding,” kata Budi.
“Namun demikian dalam proses akhirnya, tadi malam kita sama-sama mendengar kabar bahwa adanya amnesti untuk Saudara HK dalam perkara ini. Nanti mekanismenya kami di KPK akan menunggu surat tersebut,” sambungnya.
Diketahui, Presiden Prabowo Subianto telah menerbitkan keputusan pemberian amnesti kepada Hasto. Hal itu tercantum dalam Surat Presiden Nomor R42/Pres/07/2025 tertanggal 30 Juli 2025 yang ditujukan kepada DPR RI. Dalam surat itu, Presiden mengusulkan pemberian amnesti kepada 1.116 terpidana, termasuk Hasto Kristiyanto.
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menyatakan bahwa DPR telah menggelar rapat konsultasi bersama pemerintah, yang diwakili oleh Kementerian Hukum dan HAM. Dalam rapat tersebut, DPR menyetujui usulan Presiden.
“Tentang amnesti terhadap 1.116 orang yang telah terpidana, diberikan amnesti termasuk Saudara Hasto Kristiyanto,” ujar Dasco dalam konferensi pers di DPR, Jakarta, Kamis (31/7/2025) malam.
Konferensi pers itu turut dihadiri oleh Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, serta jajaran Komisi III DPR.
“DPR RI telah memberikan pertimbangan dan persetujuan,” tambah Dasco.
Dalam kesempatan yang sama, Dasco juga menyampaikan bahwa Presiden Prabowo memberikan abolisi kepada Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong.
“Surat Presiden R43/Pres/ tentang permintaan pertimbangan DPR RI atas pemberian abolisi terhadap Tom Lembong. Pemberian abolisi terhadap Saudara Tom Lembong,” ujarnya.
Secara hukum, amnesti dan abolisi merupakan dua bentuk pengampunan dari negara dengan cakupan berbeda. Amnesti menghapus seluruh akibat hukum dari suatu tindak pidana, sementara abolisi menghentikan proses penuntutan perkara yang belum atau sedang berjalan sehingga tidak dilanjutkan ke tahap putusan.
Dalam hal ini, Hasto diampuni dari tuduhan tindak pidana korupsi terkait dugaan perintangan penyidikan dan pemberian suap dalam pengkondisian Harun Masiku menjadi anggota DPR RI di KPU. Dengan amnesti tersebut, seluruh dakwaan terhadap Hasto dihapuskan, dan ia tidak lagi menjalani hukuman atas vonis tingkat pertama yang menjatuhkan pidana penjara 3 tahun 6 bulan dan denda Rp250 juta subsider 3 bulan kurungan.
Sementara itu, Tom Lembong yang sebelumnya divonis 4 tahun 6 bulan penjara serta denda Rp750 juta subsider 6 bulan dalam kasus korupsi impor gula, kini terbebas dari proses hukum lanjutan. Perkaranya dihentikan dan tidak dilanjutkan ke tahap banding atau kasasi. Ia pun tidak menjalani hukuman.