Bantah Deindustrialisasi, Jubir Kemenperin Beberkan PMI RI Ungguli Jepang hingga Taiwan

Bantah Deindustrialisasi, Jubir Kemenperin Beberkan PMI RI Ungguli Jepang hingga Taiwan


Banyak ekonom sepakat, Indonesia mengalami kemunduran industri alias deindustrialisasi. Indikator yang kasat mata, banyak industri tutup yang berdampak kepada anjloknya kontribusi industri terhadap pertumbuhan ekonomi atau Produk Domestik Bruto (PDB).

Namun, juru bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Febri Hendri Antoni Arif membantah fenomena deinsdustrialisasi di Indonesia. Mulai Juli 2025, indeks manufaktur atau Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur naik, setelah anjlok dalam 4 bulan berturut-turut.

Kenaikan PMI ini, kata Febri, dipicu perjanjian  Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA), revisi aturan relaksasi impor dan kebijakan TKDN (Tingkat Kandungan Dalam Negeri).

“PMI manufaktur Indonesia pada Juli berada di angka 49,2 poin, melonjak 2,3 poin ketimbang bulan sebelumnya yang berada di angka 46,9 poin,” kata Febri, Jakarta, Jumat (1/8/2025).

Dia bilang, PMI manufaktur Indonesia pada Juli 2025, mampu melampaui PMI manufaktur Jepang yang bertengger di angka 48,8, Prancis 48,4, Inggris 48,2, Korea Selatan 48,0, dan Taiwan 46,2 poin. “PMI naik karena beberapa minggu terakhir terdapat dinamika kebijakan yang membuat pelaku industri lebih optimistis,” kata dia

Optimisme pelaku industri dalam negeri itu karena di antaranya terjalin kesepakatan tarif antara Indonesia dan AS. “Berkat kepiawaian Bapak Presiden Prabowo dalam bernegosiasi, Indonesia berhasil memperoleh tarif yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan negara-negara pesaing. Hal ini menjadi modal penting bagi peningkatan daya saing industri nasional,” ungkapnya.

Arief Anshory Yusuf menyebut Indonesia mengalami deindustrialisasi dini, namun belum sampai ke tahap yang sulit diobati. Masih ada ruang untuk perbaikan cepat.

“Deindustrialisasi prematur di Indonesia itu belum sampai parah banget, istilahnya baru stalled industrialization,” ucap Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran itu, Jakarta, Jumat (11/7/2025).  

Asal tahu saja, deindustrialisasi dini terlihat dari distribusi industri pengolahan atau manufaktur terhadap PDB yang merosot satu dekade terakhir seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stagnan di level 5 persen.

Pada 2014, distribusi industri pengolahan terhadap PDB menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), mencapai 21,02 persen. Namun, pada 2019 tersisa 19,7 persen, dan pada 2023 merosot menjadi 18,67 persen. Pada 2024, naik tipis 19,13 persen, berlanjut perbaikan hingga kuartal I-2025 sebesar 19,25 persen.

Oleh sebab itu, yang menjadi fokus pemerintah saat ini ialah untuk mengembalikan lagi besaran porsi industri manufaktur. Industrialisasi yang sempat gencar dilakukan melalui hilirisasi satu dekade lalu harus diarahkan untuk industri padat karya, karena sebagai faktor utama penciptaan lapangan pekerjaan yang layak dari sisi upah maupun produktivitas.

“Karena industrialisasi itu, atau manufacturing, meningkatnya aktivitas ekonomi yang berbasis manufaktur, itu dia menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi untuk pekerjanya, formal job itu create dari itu dulu, ketika di tahun 90-an. Itu yang membuat kita, ekonominya bisa 8 persen, mendekati 8 persenlah,” tegas Arief.

 

Komentar