Dalam rangka menumbuhkan semangat diskusi, pandangan terbuka, dan kepentingan publik yang harus menjadi kultur baru BUMN, saya menulis surat terbuka ini.
Itu kesan awal saya membaca Surat Keputusan Danantara No. S-063/DI-BP/VII/2025, tertanggal 30 Juli 2025, yang telah menjadi sorotan luas dalam pemberitaan nasional.
Isinya tegas dan mengejutkan. Pembayaran tantiem dan insentif dalam bentuk apa pun untuk Dewan Komisaris BUMN dan anak usaha dinyatakan tidak diperkenankan mulai tahun buku 2025.
Sementara itu, insentif tetap terbuka bagi direksi—dengan syarat berbasis kinerja operasional yang tercermin dalam laporan keuangan yang sahih.
Pada satu sisi, niat Danantara patut dihargai. Ia datang dari semangat efisiensi dan profesionalisme, dengan mengacu pada prinsip-prinsip good corporate governance global.
Namun pada sisi lain, keputusan ini mengabaikan konteks struktur korporasi BUMN Indonesia, yang secara hukum dan praktik masih menganut sistem Two Tier Board.
Ini seperti rumah tangga yang memaksakan model arsitektur asing tanpa melihat bentuk tanah dan adat lokal.
Evaluasi Pandangan Resmi Danantara
Dalam berita CNBC Indonesia (1 Agustus 2025), CEO BPI Danantara, Rosan Roeslani, menjelaskan bahwa larangan tantiem bagi komisaris bertujuan menyelaraskan kompensasi dengan praktik terbaik dunia. Ia merujuk pada prinsip OECD dan menyatakan bahwa:
“Komisaris seharusnya hanya menerima pendapatan tetap, bukan variabel berbasis laba,”
demi menjaga independensi pengawasan.
Pernyataan ini secara prinsip benar dalam konteks negara-negara yang menganut sistem One Tier Board, seperti Inggris dan Amerika Serikat.
Dalam model itu, non-executive directors sering kali hadir hanya sebagai pelengkap struktur, tanpa terlibat aktif dalam dinamika strategis.
Maka, pemberian tantiem kepada mereka memang dianggap menimbulkan konflik kepentingan.
Begitu pula, OECD Guidelines on Corporate Governance of SOEs (2015) menganjurkan agar pengawasan dijalankan dengan pendapatan tetap guna menjaga independensi.
Namun, kebenaran ini tidak serta-merta valid bila diterapkan ke konteks Indonesia, yang secara yuridis dan kelembagaan menganut sistem Two Tier Board. Dan inilah akar perbedaan penting itu.
One Tier vs Two Tier: Dua Dunia yang Tak Sama
Untuk memahami kekeliruan dalam kebijakan ini, kita perlu membedah dua sistem arsitektur korporasi:
One Tier Board, lazim di Amerika dan Inggris, menyatukan fungsi eksekutif dan pengawasan dalam satu dewan. Kompensasi berbasis laba diberikan hanya kepada executive directors. Non-executive directors umumnya menerima honorarium tetap.
Two Tier Board, seperti yang diterapkan di Jerman, Belanda, dan secara formal di BUMN Indonesia, memisahkan secara struktural peran:
Direksi (eksekutif) yang menjalankan operasional perusahaan,
dan Dewan Komisaris (pengawas) yang bertugas mengawasi, memberi nasihat strategis, serta memastikan integritas tata kelola.
Dalam praktiknya, komisaris BUMN di Indonesia tidak pasif. Mereka:
Terlibat dalam komite audit, risiko, dan investasi,
Ikut menentukan arah transformasi digital, ESG, dan pengendalian internal,
Serta memikul risiko hukum dan reputasi, sama seperti direksi.
Menyamakan peran ini dengan non-executive directors pasif adalah penyederhanaan yang menyesatkan, dan berpotensi merusak keseimbangan checks and balances di tubuh BUMN.
Lima Alasan: Mengapa Kebijakan Ini Melemahkan BUMN
- Merendahkan Fungsi Pengawasan
Ini seperti meminta matahari menyinari bumi, tapi menutup seluruh jendelanya. Komisaris tetap bekerja, tetap diminta hadir dalam badai, tapi kini tanpa penghargaan yang setimpal. - Memicu Seleksi Negatif
Tanpa insentif profesional, jabatan komisaris hanya akan menarik dua jenis orang: yang tak lagi dibutuhkan sektor lain, atau yang datang hanya demi jabatan tanpa kontribusi. - Perlawanan Pasif yang Sunyi Tapi Mematikan
Komisaris mungkin tidak berdemonstrasi. Tapi mereka bisa memilih diam, tak bertanya, tak menyela, tak mengoreksi. Dan dalam sistem pengawasan, diam bisa lebih mematikan dari kritik terbuka. - Diskriminasi Struktural
Direksi diberi kompensasi berbasis kinerja. Komisaris tidak. Padahal mereka sama-sama bisa dimintai pertanggungjawaban atas kegagalan institusi di mata hukum maupun publik. - Rusaknya Kontrak Psikologis
Organisasi dibangun atas kepercayaan: bahwa kerja keras akan dihargai. Saat kepercayaan itu dicederai, maka loyalitas pun perlahan memudar. Dan loyalitas yang hilang tak bisa ditebus dengan regulasi.
Kritik terhadap Generalisasi dan Misinterpretasi OECD
OECD tidak pernah menyarankan bahwa seluruh pengawas di semua sistem tidak boleh diberi insentif berbasis kinerja.
Yang disarankan adalah menjaga independensi dan transparansi kompensasi—bukan melarang penghargaan atas kontribusi riil.
Dalam praktik internasional:
Jerman tetap memberi bonus bagi komisaris yang berkontribusi dalam strategi transformasi perusahaan.
Prancis dan Belanda memberlakukan kompensasi campuran (tetap dan variabel).
Bahkan di Norwegia dan Finlandia, dua negara dengan reputasi tata kelola publik tinggi, tetap diberikan bentuk penghargaan terhadap kerja pengawasan yang substansial.
Dunia pun tak seragam. Maka mengapa Indonesia harus menyeragamkan diri secara keliru?
Rekomendasi Reflektif
Evaluasi ulang pendekatan “one-size-fits-all”. Libatkan akademisi, praktisi, dan pakar hukum tata kelola untuk menyusun solusi yang lebih kontekstual.
Gunakan pendekatan hybrid:
Insentif pengawasan berbasis KPI kelembagaan (bukan laba),
Sistem evaluasi independen untuk Dewan Komisaris,
Publikasi transparan struktur kompensasi kepada publik.
Libatkan KPK, Satgas BUMN Bersih, dan masyarakat sipil dalam mendesain ulang sistem insentif yang adil, kontekstual, dan menjunjung kepercayaan publik.
“Keadilan bukanlah memberi yang sama, tetapi memberi sesuai beban dan peran.”
Jika reformasi ini tak membedakan antara pengawas pasif dan pengawas aktif, maka ia kehilangan keadilannya, kehilangan kejujurannya, dan kehilangan efektivitasnya.
Pengawas yang tak dihargai cenderung abai pada risiko strategis. Sistem Two Tier memerlukan keseimbangan—menghargai kinerja pengawasan bukanlah pelanggaran etika, melainkan bentuk keadilan struktural.
BUMN adalah tubuh raksasa yang menjaga aset publik. Direksi adalah kaki, yang bergerak cepat.
Tapi komisaris adalah mata dan telinga. Jika mata dibuat kabur dan telinga dimatikan, kita sedang membiarkan raksasa itu berlari dalam gelap.
Bulan memang purnama,
tapi jika tak ada yang menatap,
siapa yang tahu ia menerangi malam?
Komisaris adalah mata yang menatap. Jangan padamkan sinarnya.