Kebijakan tarif impor Amerika Serikat (AS) kembali menghantam sejumlah negara ASEAN. Mulai 8 Agustus 2025, Malaysia bersama empat negara anggota ASEAN lainnya –Kamboja, Filipina, Thailand, dan Indonesia– resmi dikenai tarif impor sebesar 19 persen.
Kebijakan ini merupakan implementasi dari perintah Presiden AS Donald Trump yang dikeluarkan Gedung Putih pada 31 Juli 2025, sebagaimana dikutip dari laporan kantor berita Bernama, Sabtu (2/8/2025).
Keputusan ini menjadi babak baru dalam dinamika perdagangan antara AS dan negara-negara Asia Tenggara. Sebelumnya, pada 7 Juli lalu, Washington bahkan sempat mengumumkan rencana pengenaan tarif 25 persen untuk semua produk Malaysia yang masuk ke AS, efektif per 1 Agustus 2025.
Angka tersebut sedikit lebih tinggi dari pengumuman pada April, yang menunjukkan fluktuasi dalam penetapan kebijakan tarif AS.
Tak hanya Malaysia, negara-negara lain di kawasan juga merasakan imbasnya. Vietnam, misalnya, menghadapi tingkat tarif yang sedikit lebih tinggi, yakni 20 persen. Sementara itu, Brunei Darussalam dikenakan tarif 25 persen.
Di sisi lain, Singapura, yang merupakan salah satu mitra dagang utama AS di Asia Tenggara, tetap menikmati tarif terendah di antara negara-negara ASEAN, yaitu 10 persen. Angka ini tidak berubah sejak penerapan awalnya.
Namun, beban tarif terberat justru ditanggung oleh Laos dan Myanmar. Kedua negara ini dikenakan tarif impor sebesar 40 persen, yang merupakan angka tertinggi di antara seluruh negara di kawasan Asia Tenggara.
Kebijakan tarif ini tentu menimbulkan pertanyaan mengenai implikasinya terhadap volume perdagangan, investasi, dan hubungan ekonomi antara AS dan negara-negara ASEAN. Bagi negara-negara yang terkena tarif tinggi, daya saing produk mereka di pasar AS berpotensi menurun.
Hal ini tidak hanya memengaruhi eksportir, tetapi juga bisa berdampak pada sektor-sektor ekonomi domestik yang bergantung pada pasar AS.
Langkah Washington tersebut juga mencerminkan strategi perdagangan yang lebih proteksionis di bawah pemerintahan Trump. Fokus pada pengenaan tarif sebagai alat negosiasi dan perlindungan industri domestik AS menjadi ciri khas kebijakan luar negeri ekonominya.
Bagaimana negara-negara ASEAN akan merespons kebijakan ini, apakah dengan mencari pasar alternatif atau melakukan negosiasi ulang, patut dinanti perkembangannya.