Sebuah kritik tajam dilontarkan oleh Profesor Emeritus Studi Timur Tengah dan Asia Tengah Universitas Nasional Australia, Amin Saikal. Ia tak segan-segan menguliti tumpulnya peran negara-negara mayoritas Muslim dalam menyikapi dua krisis terbesar yang melanda dunia Islam saat ini: kehancuran Gaza dan cengkeraman kejam Taliban di Afghanistan.
Bahkan, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), sebagai wadah bagi 57 negara Muslim, tak luput pula dari sorotan Saikal yang menilainya ‘kuat dalam retorika namun kurang bertindak serius dan nyata’.
Dalam tulisannya yang dimuat di The Conversation pada 31 Juli 2025, Profesor Saikal –yang juga Wakil Rektor Rekan Strategis Universitas Victoria– terang-terangan menyebut bahwa negara-negara Arab dan Muslim sangat tidak efektif. Padahal, OKI diharapkan bisa menjadi badan representatif dan konsultatif yang mampu merumuskan keputusan serta rekomendasi konkret terkait isu-isu krusial di dunia Muslim. Namun, realitasnya justru berbanding terbalik.
Gaza: Kemandulan OKI di Tengah Bencana Kemanusiaan
Profesor Saikal menyoroti ketidakberdayaan OKI dalam menghadapi agresi Israel ke Gaza. Salah satu contoh paling mencolok adalah kegagalan OKI membujuk negara-negara tetangga Israel, khususnya Mesir dan Yordania, untuk membuka perbatasan guna kelancaran masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza.
Lebih jauh, OKI juga dianggap tidak mampu memaksa negara-negara seperti Mesir, Yordania, Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Sudan, dan Maroko untuk menangguhkan hubungan diplomatik dengan Israel. Padahal, langkah tersebut bisa menjadi tekanan agar Israel menyetujui solusi dua negara yang selama ini didengungkan.
Seruan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim dan pelapor khusus PBB untuk Palestina, Francesca Albanese, untuk menangguhkan keanggotaan Israel dari PBB pun tak digubris oleh OKI.
Profesor Saikal bahkan secara lugas menyebut OKI tidak bisa mendesak anggota Arab-nya yang kaya minyak, terutama Arab Saudi dan UEA, untuk memanfaatkan sumber daya mereka guna menekan Presiden AS Donald Trump agar menghentikan pasokan senjata ke Israel, serta memaksa Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengakhiri perang.
Afghanistan: Pembiaran terhadap Rezim Taliban
Situasi di Afghanistan tak jauh berbeda. OKI dinilai minim aksi dalam menekan Taliban yang ultra-ekstremis. Padahal, larangan pendidikan bagi anak perempuan oleh Taliban adalah isu yang sangat sensitif.
Meskipun Sekretaris Jenderal OKI Hissein Brahim Taha pernah menyerukan penyatuan ulama dan otoritas agama untuk melawan keputusan tersebut pada Desember 2022, seruan itu tak pernah terealisasi.
Ironisnya, dalam waktu sebulan, keputusan OKI justru berubah drastis, meminta komunitas internasional untuk tidak mencampuri urusan internal Afghanistan.
Hingga kini, belum ada satu pun negara Muslim yang secara resmi mengakui pemerintahan Taliban. Namun, baik negara-negara Muslim secara individual maupun OKI secara kolektif, tak mengambil tindakan konkret terhadap kelompok tersebut.
Profesor Saikal mengungkapkan, sebagian besar anggota OKI justru terlibat dalam interaksi politik, ekonomi, keuangan, dan perdagangan dengan Taliban.
Akar Masalah: Rivalitas dan Kurangnya Strategi
Menurut Profesor Saikal, ada beberapa alasan di balik ketidakefektifan OKI dalam menghadapi dua krisis ini. Pertama, negara-negara anggota belum mampu menjadi ‘pembangun jembatan’ untuk mengembangkan strategi bersama. Mereka gagal mengatasi perbedaan geopolitik dan sektarian yang ada di antara mereka demi tujuan dan tindakan bersama.
Kedua, OKI cenderung hanya menjadi ajang diskusi semata, apalagi dengan adanya persaingan antara negara-negara anggota, serta dengan kekuatan global seperti AS dan China.
“Sudah saatnya melihat fungsi OKI dan menentukan caranya lebih efektif dalam menyatukan umat,” ujar Profesor Saikal, menegaskan perlunya reformasi mendalam agar OKI bisa benar-benar menjadi kekuatan yang signifikan di panggung dunia.