“Sampai kapan mimpi-mimpi itu kita beli?..Sampai nanti sampai kita tak bisa bermimpi”.
Penggalan lirik lagu Iwan Fals berjudul ‘Mimpi yang Terbeli’ mencerminkan masyarakat kelas bawah di era 80-an yang tidak mampu membeli barang keinginannya di pusat perbelanjaan.
Selain tidak punya cukup uang, harga-harga ketika itu sedang melambung tinggi. Hingga akhirnya mereka hanya bisa membeli mimpi.
Menjelang 80 tahun perayaan kemerdekaan Republik Indonesia (RI), badai pemutusan hubungan kerja (PHK) masih menjadi momok para pekerja. Tentunya hingga saat ini mereka belum merdeka sampai ancaman badai itu benar-benar mereda.
Padahal Presiden RI Prabowo Subianto dan Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka menggaungkan janji menciptakan 19 juta lapangan kerja. 10 bulan berlalu, yang ada malah puluhan ribu orang kehilangan pekerjaan.
Berdasarkan data dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), sepanjang Januari hingga Juni 2025, tercatat ada 42.385 pekerja menjadi korban PHK. Angka ini melonjak 32,19 persen dibanding periode yang sama tahun lalu yakni sebanyak 32.064 orang.
Kondisi inilah yang mengakibatkan daya beli masyarakat menurun. Hingga pada akhirnya akan berpengaruh pada tingkat konsumsi masyarakat.
Situasi dan kondisi tersebutlah yang memunculkan fenomena Rojali dan Rohana. Istilah rojali merupakan akronim dari ‘rombongan jarang beli’, sedangkan rohana kependekan dari ‘rombongan hanya nanya’.
Rojali dan rohana sejatinya tak jauh berbeda dengan window shopping yang sudah lama dikenal publik, yakni perilaku seseorang yang hanya melihat-lihat barang di etalase sebuah toko tanpa ada niat membeli.
Belakangan ini rojali dan rohana menjadi pasangan serasi sekaligus mencerminkan krisis daya beli masyarakat. Keduanya adalah pengunjung mal, datang berkelompok lalu melihat-lihat bahkan mencoba produk, namun akhirnya tak membeli apapun.
Jika dahulu orang datang ke mal untuk berbelanja, kini banyak yang hanya sekadar berkumpul, mencari kesenangan, atau healing gratisan.
“Mal ini kan banyak menyediakan kebutuhan yang sifatnya sekunder dan tersier, barang-barang mewah, tas-tas mewah misalnya. Mereka fokus dulu nih ke kebutuhan pokok. Jadi ke mal itu hanya untuk cuci mata atau sekadar refreshing,” ujar Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira kepada Inilah.com.
Menurutnya fenomena rojali dan rohana sudah muncul sejak lama. Banyak kelas menengah semakin terhimpit oleh biaya hidup, terutama inflasi bahan pangan, perumahan, serta suku bunga tinggi.
Tak sedikit dari mereka (kelas menengah) yang terjebak pada cicilan utang dan diikuti dengan pendapatannya yang cenderung menurun.
“Ada juga sebagian alasan lainnya karena mereka membeli barang sekunder maupun tersier di toko online. Dengan diskon ongkos kirim dan promo-promo yang tidak ditawarkan oleh mal misalnya. Itu yang mengubah perilaku konsumen,” jelasnya.
Dapat dikatakan, ini juga merupakan bentuk kehati-hatian dalam berbelanja. Perilaku sekadar melihat-lihat atau hanya bertanya tanpa membeli merupakan bagian dari pencarian informasi sebelum membeli.
Gengsi tapi tak Membeli
Sering kali rojali dan rohana berperilaku seolah ingin membeli sesuatu sebagai strategi untuk membentuk citra diri sebagai konsumen berdaya beli di hadapan pramuniaga, teman, atau bahkan dirinya sendiri.
Ketika seseorang sadar dirinya tidak mampu membeli, tapi sangat ingin atau berada di lingkungan konsumtif, maka biasanya timbul konflik batin. Untuk meredakan perasaan malu, mereka melakukan tindakan seolah-olah membeli.
Kebutuhan akan identitas sosial, lanjut Bhima, juga turut mempengaruhi. Mengunjungi tempat elite atau yang sedang tren, meski tanpa membeli, bisa menjadi bentuk penegasan diri sebagai bagian dari kelompok sosial tertentu.
Daya Beli Lesu
Fenomena ini sangat mencerminkan daya beli masyarakat yang memang sedang lesu. Ditambah lagi denga sulitnya menabung hingga pinjaman dana yang semakin mudah diakses, namun berat untuk diselesaikan.
“Satu lagi, efisiensi belanja pemerintah ikut berkontribusi terhadap berkurangnya dompet kelas menengah. Sehingga mereka berpikir ulang untuk belanja barang-barang di luar barang-barang yang esensial,” kata Bhima.
Dirinya mengaku perlu adanya intervensi pemerintah untuk mendongkrak daya beli masyarakat. Salah satunya adalah menciptakan lapangan pekerjaan serta mendorong wirausaha agar mereka yang terkena PHK bisa menciptakan lapangan kerja sendiri.
Rojali-Rohana Dianggap Biang Kerok
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja menilai fenomena rojali-rohana sudah terlihat sejak Ramadan 2024, ketika daya beli masyarakat mulai terguncang.
Fenomena ini diakuinya berlanjut pada Ramadan dan Lebaran tahun ini. Ditambah lagi dengan adanya penurunan omzet penjualan ritel.
Meski tidak mempermasalahkan kehadiran pengunjung yang hanya bertanya atau melihat-lihat, Alphonzus mengakui, tren ini berdampak kepada performa penjualan tenant di mal.
Ia menyebut, omzet ritel mengalami penurunan akibat pergeseran pola belanja masyarakat. Ketika omzet turun maka penyewa gerai di mal, akan kesulitan membayar sewa, maka terpaksalah mereka berhenti jualan di mal.
PT Matahari Department Store Tbk atau Matahari menjadi salah satu contoh tumbangnya perusahaan peritel fesyen. Sejumlah gerainya terpaksa ditutup, dampak dari lesunya daya beli masyarakat.
“Pasti (ada penurunan omzet), karena kan masyarakat menengah bawah cenderung beli barang atau produk yang harga satuannya, atau unit price-nya murah. Itu terjadi penurunan, pasti,” katanya.
Meski begitu, fenomena rojali-rohana justru mendongkrak omzet sektor food and beverage (F&B) atau makanan dan minuman serta mendorong transformasi strategi bisnis pelaku usaha. Bahkan tercatat ada kenaikan keuntungan sebesar 5-10 persen per bulan.
Bhima Yudhistira pun mengakui saat ini banyak yang bergeser menjadi pusat F&B, sehingga menjadi tempat rekreasi keluarga.
“Itu yang sekarang diminati. Kita lihat beberapa mal-mal lama itu yang mengubah konsep itu mampu bertahan. Sehingga pengeluaran konsumen untuk rekreasinya tetap menopang pendapatan pusat perbelanjaan,” jelasnya.
Dirinya memprediksi fenomena rojali-rohana akan berlangsung panjang, bahkan hingga tahun depan. Ini terjadi karena adanya perang dagang yang mengakibatkan PHK di sektor padat karya.
Ditambah lagi dengan efisiensi belanja pemerintah yang ikut berkontribusi terhadap berkurangnya ‘dompet’ masyarakat menengah ke bawah.
“Belum ada tanda-tanda akan ada recovery, sehingga pusat perbelanjaan lah yang harus melakukan penyesuaian. Tahun depan fenomena ini masih akan terjadi,” ucapnya.
BLT Jadi Solusi?
Rojali dan rohana bukanlah sekadar konten lelucon, tapi ini adalah wajah Indonesia yang sedang gelisah. Karena itu pemerintah tidak bisa santai menanggapi fenomena yang terjadi.
Perlu adanya stimulus dari pemerintah supaya memberikan efek langsung terhadap kemampuan daya beli masyarakat yang sedang drop. Bantuan Langsung Tunai (BLT) dinilai masih menjadi opsi yang baik untuk terus digulirkan. Tapi dengan catatan, harus ada pengawasan super ketat agar bantuan tertuju kepada yang berhak.
“Saya melihat BLT masih opsi yang baik, tapi penggunaanya perlu dipantau dengan baik, karena ada sinyalemen kuat judol (judi online) dan pinjol (pinjaman online)turut melemahkan daya beli masyarakat,” ujar Anggota Komisi XI DPR RI Ahmad Najib Qodratullah.
Kampanye Diskon
Menanggapi maraknya rojali-rohana, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menilai fenomena itu mencerminkan pergeseran perilaku konsumen.
Aktivitas masyarakat yang tetap mengunjungi mal meski tidak membeli secara langsung tetap memberikan kontribusi terhadap perekonomian, terutama di sektor pendukung seperti kuliner dan hiburan.
Untuk meningkatkan daya beli masyarakat, kata Airlangga, pemerintah sudah menyiapkan sejumlah strategi. Salah satunya adalah kampanye diskon nasional, hadiah kemerdekaan RI.
“HUT ke-80 RI bisa dijadikan momen diskon 80 persen untuk produk tertentu. Ini bisa menjadi pemicu belanja,” ujarnya.
Kampanye diskon nasional itu diyakininya efektif membangkitkan gairah belanja masyarakat, sekaligus menjaga roda ekonomi tetap berputar.
Tak hanya itu, lanjutnya, pemerintah juga sedang mempertimbangkan sejumlah insentif lain untuk mendorong daya beli masyarakat, seperti diskon sektor transportasi, pariwisata, dan ritel.
“Industri harus bersiap menghadapi perubahan ini secara adaptif,” tandasnya.
(Harris Muda/Rizki Aslendra)