Firasat Buruk Rojali dan Rohana

Firasat Buruk Rojali dan Rohana


Fenomena ‘Rojali dan ‘Rohana’ semakin akrab di kuping 280 juta penduduk Indonesia. Jangan salah, keduanya membawa pesan kuat tentang memburuknya ekonomi Indonesia yang terlalu bergantung kepada konsumsi atau daya beli masyarakat.

Jangan pernah membayangkan nama Rojali dan Rohana menggambarkan gadis desa berparas ayu, yang meraih peruntungan di kota besar. Kini menjelma menjadi perempuan sukses, hobinya keluar-masuk mal, untuk berbelanja. Bukan itu.

Tapi, Rojali dan Rohana di sini merupakan fenomena sosial yang menggambarkan kondisi perekonomian rakyat. Simbol sosial yang begitu lekat dengan kejujuran. Di mana, ‘Rojali’ berarti rombongan jarang beli, sedangkan ‘Rohana’ adalah rombongan hanya nanya. Bisa jadi, fenomena ‘Rojali’ dan ‘Rohana’ ini merupakan sarkasme bagi pemerintah karena gagal menjaga daya beli rakyatnya.

Ketika masyarakat berada di mal atau pusat perbelanjaan, bukannya untuk belanja. Namun, ya itu tadi. Mereka hanya sekadar nanya, alias tidak beli.

Atas munculnya kedua fenomena ini, membuat banyak pemilik mal atau pusat perbelanjaan dilanda was-was. Masalahnya, penghidupan mereka bergantung kepada penyewa gerai. Jika omzet penyewa gerai anjlok, bahkan minus, matilah bisnisnya.

Karena tak kuat menyangga biaya operasional, mereka terpaksa angkat kaki dari mal. Nah, kalau sudah banyak penyewa mal yang bangkrut, sepilah mal. Wajar jika banyak pusat perbelanjaan di kota-kota besar yang tutup. Alhasil, pemilik mal harus menutup usahanya karena tak adalagi penyewa. 

“Itu (omzet) turun, sudah pasti. Karena, belinya cenderung produk-produk yang harganya satuannya murah,” ungkap Ketua Umum APPBI (Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia), Alphonzus Widjaja di Jakarta Timur, Rabu (23/7/2025).

Korbannya sudah ada. Pertengahan 30 April lalu, Pluit Junction Mal di Penjaringan, Jakarta Utara, harus tutup. Bangunan mal yang didominasi warna merah dan hijau ini masih terlihat gagah dari luar. Namun, hampir semua pintu masuk mal digembok rapat.

Nasib yang kurang lebih sama dialami gerai Matahari yang resmi pamitan di Mal Cibubur Junction, Jakarta Timur, pada akhir Juli 2025.

Meski manajemen PT Matahari Departemen Store Tbk (LPPF) ogah bicara soal pemicunya, pastilah biang keroknya seputar anjloknya penjualan. Intinya, ada masalah menyangkut daya beli yang membuat masyarakat lebih menahan belanja.

Saat ini, masyarakat sudah tak punya duit lebih di dompet, sehingga bisanya hanya cuci mata alias window shopping di mal. Sesuai nama, fenomena ‘Rojali’ dan ‘Rohana’ menjadi tren yang bikin heboh. 

“Setuju,” kata Alphonzus. Ada sejumlah faktor yang memicu lahirnya fenomena ‘Rojali’ dan ‘Rohana’, saat ini. Salah satunya, ya itu tadi, melemahnya daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah.

Di mana, pengunjung mal atau pusat perbelanjaan di Indonesia memang didominasi kelompok menengah ke bawah. Angkanya 95 persen.

“Kan daya belinya berkurang, uang yang dipegang semakin sedikit, tapi mereka tetap datang ke pusat perbelanjaan,” Alphonzus.

Berdasarkan data APPBI, jumlah kunjungan ke pusat perbelanjaan meningkat tapi hanya recehan, yakni kurang dari 10 persen. Atau masih di bawah target APPBI di kisaran 20 hingga 30 persen.

“Tahun ini, tetap tumbuh dibandingkan tahun lalu, tapi tidak signifikan. Paling single digit, artinya kurang dari 10 persen,” ungkapnya.

Selain itu, dia mengakui adanya perubahan pola belanja di masyarakat yang berdampak kepada omzet pusat perbelanjaan. Saat ini, konsumen lebih selektif dalam berbelanja.

Mereka akan lebih memilih barang atau jasa yang harganya murah. Sesuai isi dompet mereka yang semakin hari terus menipis.

Polemik Daya Beli

Namun, faktor anjloknya daya beli, buru-buru dibantah Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso.

Dia bilang, fenomena ‘Rojali’ dan ‘Rohana’ bukan dipicu anjloknya daya beli. Namun telah terjadi pergeseran pola belanja di kalangan konsumen Indonesia.

Di mana, masyarakat bebas memilih untuk membeli barang secara daring (online), maupun luring (offline). Termasuk melihat dulu barang yang diincarnya di mal.

Sehingga wajar jika mereka datang ke mal, hanya untuk melihat dan sesekali bertanya. Tapi belinya lewat perdagangan onlne alias e-commerce.

“Kan kita bebas. Mau beli di online atau offline, itu hak konsumen. Dari dulu juga ada fenomena seperti ini,” ujar Mendag Budi.

Ekonom Universitas Airlangga (Unair), Gigih Prihantono menyebut, fenomena ‘Rojali’ dan ‘Rohana’ muncul akibat dua hal. Yakni, ambruknya daya beli dan perubahan preferensi belanja ke platform online.

“Bisa jadi (karena daya beli turun), bisa juga karena perubahan preferensi masyarakat untuk melakukan pembelian secara online,” ujar Gigih.

Suka atau tidak, dia bilang, daya beli masyarakat ‘terjun bebas’ pada saat ini. Banyak perusahaan tutup yang menciptakan pengangguran. Kenaikan harga barang dan jasa, tidak diimbangi kenaikan penghasilan mereka. Memantik ambruknya daya beli. 

Jika daya beli menurun, kata dia, berdampak langsung ke pertumbuhan ekonomi. “Sebelum puasa tahun lalu, sempat mengalami penurunan, kemudian stabil 5 persen. Karena. pemerintah banyak memberikan kelonggaran,” katanya.

Ia menilai, kebijakan pemerintah terutama pelonggaran sektor pariwisata dan layanan mulai memberikan efek positif terhadap pertumbuhan. Meski demikian, tantangan masih ada.

Fenomena window shopping ini, menurutnya, bukan sekadar soal uang, namun perilaku. Ada perubahan gaya hidup digital yang membuat konsumen lebih nyaman berbelanja daring ketimbang datang langsung ke toko fisik.

Peneliti Institute For Development of Economics and Finance (INDEF), Abra Talattov, memberikan analisa lebih lugas. Fenomena ‘Rojali’ dan ‘Rohana’ bukan sekadar perubahan gaya belanja. Melainkan cerminan tekanan ekonomi yang semakin berat kepada masyarakat perkotaan.

“Ini korelatif dengan kenaikan tingkat kemiskinan di perkotaan, menurut BPS, dari 6,66 persen pada September tahun lalu, menjadi 6,73 persen di Maret tahun ini,” paparnya.

Abra mengungkap sejumlah faktor utama yang mendorong kenaikan angka kemiskinan. Kawasan kota sangat sensitif terhadap gejala naik-turunnya harga bahan pokok, transportasi, hingga perumahan.

“Memang sensitif terhadap kenaikan harga-harga khususnya kebutuhan pokok, transportasi, dan kebutuhan perumahan,” jelasnya.

Kondisi ini diperparah dengan pendapatan masyarakat perkotaan yang cenderung stagnan, bahkan menurun. Terutama karena sebagian besar bekerja di sektor informal.

“Sehingga ini memberikan tekanan yang cukup signifikan terhadap kelompok rentan miskin di wilayah perkotaan di tengah pendapatan masyarakat di perkotaan relatif stagnan atau bahkan cenderung menurun karena mayoritas kan bekerja di sektor informal,” kata dia.

Dampaknya, kata Abra, pola konsumsi masyarakat bergeser, sehingga kini lebih mengutamakan kebutuhan dasar, ketimbang belanja barang sekunder atau tersier, yang selama ini menjadi andalan pusat perbelanjaan.

“Karena adanya tekanan-tekanan tadi, daya beli masyarakat di perkotaan tertekan habis. Sehingga muncul fenomena Rojali atau Rohana. Lagi-lagi karena mereka lebih memprioritaskan kebutuhan dasar ketimbang kebutuhan sekunder atau tersier,” katanya.

Fenomena Mantab

Naga-naganya, analisa Abra lebih masuk akal. Sebelum muncul ‘Rojali’ atau ‘Rohana’, ada namanya fenomena ‘mantab’. Akronim makan tabungan. Menggambarkan semakin minimnya penghasilan masyarakat, khususnya menengah ke bawah.

Sehingga mereka harus menjebol rekening di bank untuk memenuhi kebutuhan hidup. Salah satunya kebutuhan anak sekolah yang menurut BPS (Badan Pusat Statistik) membuat panik masyarakat karena angkanya lumayan signifikan.

Berdasarkan Survei Konsumen periode Februari 2025 dari Bank Indonesia (BI), menunjukkan, porsi tabungan mengalami penurunan dari waktu ke waktu.

Per Februari 2025, proporsi tabungan sebesar 14,7 persen, atau terendah sejak Desember 2021 yang mencapai 14,1 persen. Kala itu, Indonesia menghadapi pandemi COVID-19.

Misalnya, kelompok pengeluaran Rp1 juta-Rp2 juta hanya memiliki porsi tabungan 15,3 persen, atau sama dengan bulan Januari 2024.

Begitu pula kelompok pengeluaran Rp2,1 juta-Rp3 juta punya porsi tabungan 13,4 persen, turun ketimbang Januari 2024 yang masih di level 16,2 persen.

Sedangkan kelompok pengeluaran Rp3,1 juta-Rp4 juta, porsi tabungannya 14,4 persen pada Februari 2025, atau terendah sejak Desember 2021.

Hal ini juga terjadi pada kelompok pengeluaran lebih dari Rp5 juta, porsi tabungan anjok dari 19,3 persen pada Januari 2024, menjadi 16,3 persen pada Februari 2025. Artinya, masyarakat Indonesia benar-benar sulit menghindari ‘mantab’.

Fakta lainnya, masyarakat Indonesia semakin akrab berhubungan dengan PT Pegadaian (Perseroan). Bagi yang masih punya aset bisa titipkan aset ke lembaga gadai pelat merah itu. Urusan ‘BU’ alias butuh uang bisa rampung dalam sekejab. 

Jangan kaget jika penyaluran pinjaman atau pembiayaan Pegadaian laris manis sepanjang Januari-Mei 2025, Naik hingga 33,23 persen secara tahunan alias year on year (yoy). Nominalnya mencapai Rp103,36 triliun.

Artinya, keuangan rakyat Indonesia sejatinya sudah babak belur. Dompet sudah kosong, sementara kebutuhan banyak. Jadi, jangan senang dulu jika banyak ‘Rojali’ dan ‘Rohana’ seliweran di mal-mal. Firasat buruk untuk perekonomian Indonesia. (Clara, Ipe). 

 

 

Komentar