Langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) membidik sejumlah direksi bank pembangunan daerah (BPD) terkait dugaan penyimpangan kredit PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex, bisa mengancam perekonomian.
“Ini kasus kencang sekali aroma politiknya. Para direksi dari 3 BPD itu, kan hanya menjalankan tugas. Ada swasta mengajukan kredit untuk membesarkan usahanya, kemudian disetujui. Lho, malah salah,” kata pakar kebijakan publik dari Universitas Trisakti (Usakti), Trubus Rahadiansyah kepada Inilah.com, Jakarta, Senin (4/8/2025).
Kasus ini, kata Trubus, dikhawatirkan menjadi catatan bagi seluruh bankir. Bisa saja mereka akan pelit menyetujui kredit yang diajukan swasta. Kalau itu yang terjadi, dampaknya buruknya terhadap perekonomian nasional, menjadi sulit tumbuh. Upaya menciptakan lapangan kerja hanya menjadi ‘omon-omon’.
“Bayangkan saja kalau direksi bank ogah setujui kredit, industri swasta enggak akan maju-maju. Semuanya akan berdampak kepada perekonomian nasional. Lapangan pekerjaan semakin sulit,” ungkapnya.
Kecuali, lanjut Trubus, ada oknum bankir yang terbukti menerima komisi atau suap, karena menyetujui kredit yang diajukan swasta. Tentu saja, aparat penegak hukum wajib menyeretnya ke pengadilan.
Di sisi lain, Trubus menyebut, Sritex adalah industri tekstil besar yang dikenal mudah dekat dengan penguasa. Mulai zaman Soeharto hingga Jokowi. Walhasil, perusahaan yang didirikan HM Lukminto ini, memiliki nilai politik. Saat Jokowi berkuasa, para bankir akan sulit menolak proposal kredit yang diajukan Sritex.
Trubus benar. Sulit dipungkiri, Sritex memang punya posisi khusus di mata Jokowi. Sejak 2017, Jokowi beberapa kali berkunjung ke Sritex yang pabriknya berada di Sukoharjo, Jawa Tengah tersebut.
Ketika meresmikan perluasan pabrik Sritex, misalnya, Jokowi terang-terangan memuji Sritex setinggi langit. Disebutnya, Sritex merupakan salah satu brand atau merek yang membanggakan Indonesia. Bahkan mampu merajai pasar dunia.
Pada 2020, Sritex menang tender pengadaan tas jinjing atau goodie bag bantuan sosial (bansos) pandemi COVID-19, yang berakhir dengan kasus. Alhasil, Mensos Juliari Peter Batubara harus menebusnya dengan penjara selama 12 tahun. Karena ditengarai menerima suap dari Sritex.
Tak hanya itu, nama Gibran Rakabuming Raka yang kala itu menjabat Wali Kota Solo ikut terseret-seret. Karena diduga memberikan rekomendasi untuk memuluskan Sritex memenangkan tender.
Meski pada akhirnya, informasi dibantah pihak Sritex. Kasus ini menggambarkan betapa dekatnya Sritex dengan Keluarga Jokowi. “Sehingga wajar jika bos-bos Sritex mereka punya beking yang kuat kala itu. Belakangan semuanya terbongkar,” kata Trubus.
Sebelumnya, Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Nurcahyo Jungkung Madyo menyebut, Sritex mendapat guyuran kredit dari 3 bank pembangunan daerah (BPD), yakni Bank DKI, BJB, dan Bank Jateng. Serta dai sindikasi bank yang totalnya mencapai Rp3.588.650.808.028 (Rp3,5 triliun).
Dalam perkara ini, kata Nurcahyo, Kejagung menengarai kerugian negara sebesar Rp1 triliun. Sudah ada 11 tersangka. Sebagian besar adalah bankir, yakni, DS (Bank BJB), ZM (Bank DKI), BFW (mantan Bank BJB), PS (Bank DKI) dan YR (Bank BJB), BR (Bank BKB), SP (Bank Jateng), PJ (Bank Jateng), dan SD (Bank Jateng).
Sedangkan dari pihak Sritex, Kejagung menetapkan ISL, Dirut Sritex pada 2005-2022, dan AMS selaku Direktur Keuangan Sritex periode 2006-2023. Mungkin kalau Jokowi masih berkuasa, kasus ini tak akan terungkap. Petingginya juga lepas dari jeratan hukum. Dan Sritex tetap saja bisa berproduksi meski keuangannya berdarah-darah.