Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Herman Khaeron (Kang Hero) tak mau ambil pusing dengan adanya gugatan agar Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan putusan terkait pemisahan pemilu. Herman menyatakan partai Demokrat saat ini masih mempelajari putusan 135/2024 itu dibatalkan.
“Kita tunggu saja sampai nanti pada akhirnya ada produk undang-undang yang tentu apakah ini sejalan sepenuhnya dengan keputusan MK, ataukah kemudian mungkin sebagiannya, atau barangkali ada keputusan-keputusan lain,” ucap Kang Hero, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (5/8/2025).
Untuk itu, ia meminta seluruh elemen masyarakat tidak berandai-andai apakah MK dianggap tidak konsisten jika menindaklanjuti dan mengabulkan gugatan tersebut. Sebab nantinya, sambung dia, keputusan akan tertuang dalam UU.
“Nah, itu akan sangat ditentukan oleh nanti hasil dari keputusan bersama pemerintah dan DPR dalam bentuk undang-undang. Nah, tidak perlu berandai-andai,” ujarnya.
Anggota DPR RI ini juga menegaskan pihaknya tengah mendalami putusan MK tersebut sesuai instruksi dari Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
“Hal-hal yang sifatnya teknis dan non-teknis, kemudian dari sisi peraturan perundang-undangan, kemudian bagaimana juga menggali dari Undang-Undang Dasar sebagai landasan utama konstitusi kita,” jelas dia.
“Ini sedang kami dalami terus, dan tentu pada akhirnya nanti akan kami bicarakan bersama dengan fraksi-fraksi lain di DPR,” tutup Kang Hero.
Sebagai informasi, empat advokat mengajukan permohonan uji materiil Pasal 1 ayat (1), Pasal 167 ayat (3), Pasal 347 ayat (1), Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi. Kepaniteraan MK meregistrasi permohonan dengan Nomor 126/PUU-XXIII/2025.
Dalam persidangan, Bahrul Ilmi Yakup menyebutkan hak dan/atau kepentingan konstitusional para Pemohon telah dirugikan oleh permohonan Pengujian Undang-Undang (PUU) yang diajukan Pemohon Perkara Nomor 135/PUU-XXI/2024 yang telah diputuskan oleh Mahkamah.
Menurut para Pemohon, secara substansial perkara tersebut telah mengajukan permohonan pengujian Pasal 22E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan tentang definisi atau pemaknaan pemilu dengan menyiasati melalui pengujian Pasal 1 angka 1 UU Pemilihan Umum.
Menurut para Pemohon, permohonan Perkara Nomor 135/PUU-XXI/2024 secara sengaja memanfaatkan kealpaan pembentuk undang-undang yang sering kali menduplikasi UUD NRI Tahun 1945 menjadi norma undang-undang.
Perkara Nomor 135/PUU-XXI/2024 ini membahayakan dan menciptakan kekacauan sistem ketatanegaraan Indonesia, sebab melahirkan kevakuman anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) selama periode sejak selesainya pelantikan hasil Pemilu Nasional, yaitu dalam kurun waktu dua tahun sampai dua tahun enam bulan.
Kevakuman anggota DPRD tersebut akan melumpuhkan Pemerintahan Daerah, karena DPRD merupakan penyelenggara pemerintahan daerah bersama-sama Kepala Daerah. Sementara menurut Pasal 22E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, anggota DPRD tidak dapat ditunjuk tanpa mandat rakyat, sehingga mengharuskan anggota DPRD dipilih melalui pemilu.
“Menyatakan Pemohon Pengujian Undang-Undang, Perkara Nomor 135/PUU-XXI/2024 tidak memiliki kedudukan hukum dan Permohonannya dinyatakan tidak dapat diterima; dan menyatakan Putusan Perkara Nomor 135/PUU-XXI/2024 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” ucap Bahrul Ilmi Yakup membacakan petitum para Pemohon, Jumat (01/08/2025).