Nasib Apes Bankir di Kasus Sritex Ibarat Kecopetan di Pasar, Kejagung Sasar Pemilik Dompet

Nasib Apes Bankir di Kasus Sritex Ibarat Kecopetan di Pasar, Kejagung Sasar Pemilik Dompet


Para mantan direksi Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang menyetujui kredit untuk PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex, tak pernah tahu kredit itu bakal macet. Tapi mereka harus ikut bertanggung jawab.

Kini, mereka ditetapkan sebagai tersangka Kejaksaan Agung (Kejagung) atas dugaan korupsi penyelewengan kredit yang diteken 5 tahun lalu. Penyidik Kejagung menyebut potensi kerugian negara Rp1,08 triliun. 

“Penetapan tersangka para bankir BPD ini, sinyal buruk bagi perbankan yang saat ini kucuran kreditnya sedang loyo,” papar pengamat perbankan, Eko B Supriyanto di Jakarta, dikutip Senin (11/8/2025).

Harus diakui, para bankir BPD itu, jelas bukan orang sembarangan. Kebanyakan mereka adalah bankir profesional, alumni bank pelat merah kenamaan. Namun mereka adalah manusia biasa yang punya keterbatasan. Tak bisa meramal nasib perusahaan apalagi kreditnya. Apalagi di zaman yang penuh ketidakpastian ini. Kecuali mereka terbukti menerima suap atau komisi dari proses pencairan kredit Sritex. 

“Ibarat di pasar, kita kehilangan dompet. Lalu lapor ke pihak keamanan. Tapi, justru disalahkan. Dikatakan, sudah tahu banyak copet di pasar, kenapa tidak hati-hati. Seharusnya copetnya yang ditangkap, bukan salahkan yang punya dompet,” kata Eko yang juga menjabat Chairman Infobank Institute itu.

Pada 2020, sangat mustahil, bank menolak proposal kredit yang diajukan Sritex. Karena, reputasinya kala itu cukup moncer. Didapuk sebagai pemimpin di industri tekstil kawasan Asia Tenggara. Sudah go public, pula. Pada tahun itu, nilai asetnya saja mencapai Rp27,37 triliun, dengan ekuitas pemegang saham mencapai Rp5,47 triliun.

Dua tahun kemudian, Sritex tiba-tiba ambruk karena utang yang terus menggunung. Setahun kemudian, atau 2023, ekuitas Sritex minus. Utang mengembung akhirnya masuk Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), yang berujung pailit.

Yang paling apes bukan pemiliknya, tapi 10 ribu pekerja Sritex yang terpaksa kena pemutusan hubungan kerja (PHK). Hingga kini mereka belum menerima haknya berupa pesangon.

Ternyata, ambruknya raksasa tekstil yang berada di Sukoharjo, Jawa Tengah itu, karena salah kelola dari para petingginya. Perilaku korup menjadi biang keroknya.

Penyidik Kejagung menetapkan Iwan Setiawan Lukminto (ISL) selaku Dirut Sritex periode 2005-2022 dan Allan Moran Severino (AMS) selaku Direktur Keuangan Sritex periode 2006-2023.

Belakangan terkuak, keduanya mempermainkan dana kredit bukan untuk membesarkan perusahaan namun untuk kepentingan pribadi. Di mana, ISL yang merupakan generasi kedua Sritex, diduga menggunakan fasilitas kredit sebesar Rp692 miliar untuk membayar utang dan memborong aset tanah di beberapa lokasi.

“Tanah berada di beberapa tempat, yakni Yogyakarta dan Solo,” kata Abdul Qohar saat masih menjabat Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus) Kejagung di Jakarta, Rabu (21/5/2025).

Pada 2020, ISL masuk daftar 50 orang terkaya di Indonesia versi majalah Forbes. Ia menduduki posisi ke-49 dengan total kekayaan US$515 juta atau setara Rp8,41 triliun (asumsi kurs Rp16.340/US$).

Bak pepatah daun jatuh tak jauh dari pohon, perilaku AMS, bekas Direktur Keuangan Sritex tak kalah ngawurnya. Di mana, AMS menggunakan dana kredit yang tak sesuai peruntukan.

Misalnya untuk melunasi utang berbentuk medium term note (MTN), bukan untuk memperkuat modal. Selain itu, AMS diduga menggunakan invoice palsu dalam proses pencairan kredit Sritex dari sebuah BPD.

“Pengajuan kredit Sritex adalah untuk modal kerja. Tapi digunakan untuk melunasi utang berbentuk MTN, atau medium term note,” kata Nurcahyo Jungkung Madyo, Dirdik Jampidsus Kejagung, di Jakarta, Senin (21/7/2025).

Dari kalangan bankir,  Kejagung menetapkan 9 tersangka. Yakni, DS (Bank BJB), ZM (Bank DKI), BFW (mantan Bank BJB), PS (Bank DKI) dan YR (Bank BJB), BR (Bank BKB), SP (Bank Jateng), PJ (Bank Jateng), dan SD (Bank Jateng).
 

Komentar