Potensi PNPB Menguap Rp15,9 Triliun per Tahun Gara-gara Pengawasan Hutan Lemah

Potensi PNPB Menguap Rp15,9 Triliun per Tahun Gara-gara Pengawasan Hutan Lemah


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan kajian terkait lemahnya sistem pengawasan hutan di Indonesia. Hasilnya, menunjukkan potensi kerugian negara mencapai Rp35 miliar per tahun, serta potensi hilangnya penerimaan negara bukan pajak (PNBP) hingga Rp15,9 triliun per tahun.

“Berdasarkan kajian KPK bersama para mitra, menemukan lemahnya sistem pengawasan hutan yang telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp35 miliar per tahun, serta berpotensi menghilangkan PNBP hingga Rp15,9 triliun per tahun,” kata Plt Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, kepada awak media di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (14/8/2025).

Asep menekankan bahwa sumber daya alam, termasuk sektor kehutanan, merupakan sektor strategis yang menyangkut hajat hidup masyarakat luas dan memiliki potensi PNBP tinggi, namun rentan terhadap praktik korupsi.

“Sehingga perlu dilakukan perbaikan tata kelola Sumber Daya Alam, termasuk sektor kehutanan ini, secara menyeluruh, dari hulu hingga hilir,” ucap Asep.

Berdasarkan hasil kajian, lemahnya pengawasan hutan membuat sektor ini rentan terhadap praktik suap, terutama terkait perizinan penggunaan lahan hutan. Salah satunya terungkap dalam OTT yang dilakukan KPK terkait dugaan tindak pidana korupsi berupa suap di sektor kehutanan, melibatkan kerja sama pengelolaan kawasan hutan antara PT Inhutani V (INH) dan PT Paramitra Mulia Langgeng (PML) di Lampung.

“Kegiatan ini sekaligus selaras dengan program pemerintah melalui satgas penertiban kawasan hutan,” ujar Asep.

Sebelumnya, KPK menetapkan tiga orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap pengurusan izin pemanfaatan hutan di Provinsi Lampung yang melibatkan PT Eksploitasi dan Industri Hutan V (Inhutani V). Penetapan ini dilakukan setelah KPK menggelar OTT pada Kamis (14/8/2025).

Ketiga tersangka adalah Direktur Utama PT Inhutani V (INH) Dicky Yuana Rady (DIC), Direktur PT Paramitra Mulia Langgeng (PML) Djunaidi (DJN), dan staf perizinan SB Grup Aditya (ADT).

Untuk kepentingan penyidikan, para tersangka ditahan selama 20 hari pertama, terhitung 14 Agustus hingga 1 September 2025, di Rumah Tahanan (Rutan) Cabang KPK Gedung Merah Putih.

Atas perbuatannya, Dicky sebagai pihak penerima suap diduga melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sementara itu, Djunaidi dan Aditya sebagai pemberi suap diduga melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

OTT dilakukan sejak Rabu (13/8/2025) dengan mengamankan sembilan orang di empat lokasi berbeda: Jakarta, Bekasi, Depok, dan Bogor, termasuk ketiga tersangka.

Dalam konstruksi perkara, PT Inhutani V memiliki hak pengelolaan areal hutan di Lampung seluas ±56.547 hektare, dengan ±55.157 hektare di antaranya dikerjasamakan dengan PT PML melalui perjanjian kerja sama (PKS). Meski pada 2018 terjadi permasalahan hukum terkait kewajiban pembayaran pajak dan dana reboisasi yang tidak dipenuhi PT PML, Mahkamah Agung pada 2023 memutuskan PKS tersebut tetap berlaku.

Pada 2024, kedua perusahaan kembali melanjutkan kerja sama. PT PML disebut mengalirkan dana miliaran rupiah kepada PT INH, termasuk Rp100 juta untuk keperluan pribadi Dicky. Pada November 2024, Dicky menyetujui perubahan Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hutan (RKUPH) yang mengakomodasi kepentingan PT PML.

Memasuki 2025, Dicky menandatangani Rencana Kerja Tahunan (RKT) PT Inhutani V yang kembali menguntungkan PT PML. Pada Juli 2025, Dicky meminta satu unit mobil baru kepada Djunaidi, yang kemudian disanggupi. Pada Agustus 2025, Aditya mengantarkan uang SGD189.000 atau setara Rp2,4 miliar dari Djunaidi untuk Dicky di Kantor Inhutani, bersamaan dengan proses pembelian mobil baru berupa Jeep Rubicon merah senilai Rp2,3 miliar.

Komentar