Pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati yang menyamakan pajak dengan zakat dan wakaf, bikin gaduh. Bahkan ada yang menyebut menyesatkan dan mendesaknya dicabut.
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI), Rinto Setiyawan menegaskan, zakat dan wakaf tidak bisa disamakan dengan pajak. Penyamaan pajak dengan zakat dan wakaf sangat keliru dan menyesatkan. Baik secara konsep maupun praktiknya.
Dalam Islam, lanjut Rinto, zakat memiliki metode perhitungan yang sangat sederhana, jelas, transparan dan berbasis syariat. Misalnya, zakat harta sebesar 2,5 persen; zakat pertanian 5–10 persen, zakat tambang 20 persen, zakat fitrah ukuran 1 sha’ bahan pokok.
“Jadi, zakat itu jelas ukuran semuanya. Jelas nisabnya, jelas mustahiknya dan langsung diterima penerima manfaat tanpa birokrasi yang membelit,” kata Rinto, Jakarta, Jumat (15/8/2025).
Sebaliknya, kata Rinto, sistem perpajakan di Indonesia, adalah salah satu yang paling rumit di dunia.
Data resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP), mencatat ada sekitar 6.145 regulasi. Itu termasuk yang sudah tidak berlaku tapi masih terpampang di situs DJP. Dengan puluhan ribu pasal yang harus dipahami wajib pajak.
Artinya, sistem di Indonesia bukan hanya membingungkan, namun juga menakutkan rakyat, karena seringkali membuka ruang bagi praktik sewenang-wenang dari oknum pajak yang berujung suap atau korupsi.
Kedua, kata Rinto, dalam ajaran Nabi Muhammad SAW, pajak yang merupakan pungutan yang zalim, adalah dosa besar. Hadis riwayat Abu Dawud dari Abu Hurairah menegaskan: “Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak secara zalim.”
“Pernyataan ini menjadi peringatan keras bahwa memungut pajak di luar koridor keadilan, transparansi, dan kelayakan adalah perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam,” imbuhnya.
Ketiga, lanjut Rinto, pernyataan Sri Mulyani yang menyamakan pajak dengan zakat dan wakaf, berpotensi menyesatkan publik. Di mana, zakat merupakan ibadah mahdhah dengan landasan syariat yang pasti.
Bak langit dibandingkan bumi, pajak adalah kewajiban negara yang sifatnya administratif dan politis. “Penyamaan keduanya tanpa penjelasan perbedaan mendasar justru memperkeruh pemahaman masyarakat dan dapat digunakan untuk membenarkan kebijakan fiskal yang memberatkan rakyat,” tegasnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, IWPI menuntut Sri Mulyani mencabut pernyataan yang menyamakan pajak dengan zakat dan wakaf, serta memberikan klarifikasi resmi kepada publik.
Selain tu, kata Rinto, IWPI mendesak diakukannya reformasi total sistem perpajakan nasional, agar bisa sederhana, transparan, dan adil. Sesuai amanat Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 23A UUD 1945 yang mengatur bahwa pajak dipungut untuk kemakmuran rakyat.
“Hapus tumpang tindih regulasi dan memangkas ribuan aturan yang tidak relevan, agar wajib pajak tidak menjadi korban kebijakan yang ruwet,” imbuhnya.
Dalam Sarasehan Nasional Ekonomi Syariah Refleksi Kemerdekaan RI di Jakarta, Rabu (13/8/2025), Sri Mulyani menyamakan kewajiban membayar pajak dengan menunaikan zakat dan wakaf.
Alasannya, ketiganya merupakan cara menyalurkan hak orang lain demi terwujudnya keadilan sosial.
“Dalam setiap rezeki dan harta yang kita dapatkan, ada hak orang lain. Cara menyalurkannya bisa lewat zakat, wakaf, atau pajak. Pajak itu kembali kepada mereka yang membutuhkan,” kata Sri Mulyani.
Menurutnya, pajak yang dibayarkan masyarakat menjadi instrumen penting dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk membiayai program perlindungan sosial, kesehatan, pendidikan, hingga pemberdayaan ekonomi.
Tahun ini, kata dia, anggaran pemerintah pusat yang langsung dinikmati masyarakat kelompok bawah mencapai Rp1.333 triliun, dan akan meningkat signifikan tahun depan.
“Program keluarga harapan untuk 10 juta keluarga, bantuan sembako bagi 18 juta keluarga, subsidi modal bagi UMKM, pelayanan kesehatan gratis, sekolah rakyat semua itu dibiayai dari pajak. Sama seperti zakat dan wakaf, pajak juga adalah hak orang lain yang kita tunaikan,” jelasnya.