Perbaikan Manajemen Pengeluaran dan Identifikasi Objek Pajak Bisa Jadi Solusi Tingkatkan PAD

Perbaikan Manajemen Pengeluaran dan Identifikasi Objek Pajak Bisa Jadi Solusi Tingkatkan PAD


Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia (UI), Roy Valiant Salomo menyatakan, persoalan kenaikan tarif Pajak Bumi Bangunan (PBB) memang agak rumit. Di satu sisi, tarif PBB di Indonesia memang relatif masih rendah. Namun pendapatan per kapita negeri ini juga belum tinggi sehingga daerah harus sangat hati-hati dalam mengambil keputusan.

“Daerah di Indonesia pada umumnya Pendapatan Asli Daerahnya (PAD) memang relatif kecil. Kira-kira berkisar antara 20-40 persen dalam APBD-nya, karena potensi Pajak daerah relatif kurang baik dan wilayah daerah terbatas. Hanya daerah-daerah penghasilan minyak dan gas, sumber daya alam lain dan yang potensi pariwisatanya tinggi saja yang mempunyai kapasitas fiskal yang baik,” kata Roy kepada Inilah.com saat dihubungi di Jakarta, dikutip Minggu (17/8/2025).

Namun, jumlah daerah seperti ini tidak banyak di Indonesia. Sehingga ia menilai yang harus diperbaiki adalah Manajemen Pengeluarannya atau Public Expenditure Management.

“Cara lain untuk meningkatkan PAD adalah dengan memperbaiki manajemen PAD, antara lain misalnya dengan memperbaiki identifikasi objek pajak/subjek pajak. Yang harus diusahakan adalah daftar objek dan subjek pajak harus sesuai dengan potensi yang ada,” ujarnya.

Hanya saja kata Roy, seringkali objek atau subjek pajak tidak terdeteksi, karena pemerintah daerah tidak melakukan survey. “Penggunaan teknologi seperti Google dapat membantu. Hal ini dilakukan oleh Pemda DKI Jakarta,” sambungnya.

Tak hanya itu, Roy menyebut bila ingin menaikkan PBB, harus melalui studi kelayakan yang baik terutama berkaitan dengan kemampuan membayar (ability to pay), dan kemauan membayar (willingness to pay).

“Jika keduanya rendah, jangan coba-coba menaikan tarif. Jika hanya kemampuan membayarnya yang rendah tapi kemampuan untuk membayar memadai, maka daerah dapat menaikan tarif secara bertahap, tetapi melalui sosialisasi yang intensif untuk mendapat dukungan dari masyarakat terutama wajib pajaknya,” ungkap Roy.

Menurutnya, kenaikan tarif secara drastis apalagi tanpa studi kelayakan dan sosialisasi yang baik, akan menimbulkan gejolak sosial yang signifikan seperti di Pati, Jawa Tengah.

Sebelumnya, ramai-ramai sejumlah daerah kompak menaikkan pajak bumi dan bangunan (PBB). Kebijakan ini sontak menjadi sasaran protes warganya. Yang terheboh adalah di Kabupaten Pati, warga tumpah ke jalan untuk memprotes. Kericuhan ini berujung dengan keputusan DPRD untuk membentuk pansus pemakzulan Bupati Sudewo.

Bupati Sudewo sempat berencana menaikkan tarif PBB hingga 250 persen. Sudewo menuturkan bahwa keputusan menaikkan tarif pajak tersebut untuk mempercepat pembangunan di Pati. Dia secara spesifik menyebut dua agenda yang menjadi prioritasnya.

“Beban kami pembangunan infrastruktur jalan, pembenahan RSUD RAA Soewondo, pertanian, perikanan, semuanya membutuhkan anggaran yang sangat tinggi,” kata Sudewo yang ogah mundur dari jabatannya, belum lama ini.

Pati bukan satu-satunya kabupaten yang menaikan tarif PBB. Cirebon, kota di Jawa Barat, bahkan mengerek pajak hingga 1.000 persen. Angkanya 4 kali lipat dari tarif yang sedianya diterapkan Bupati Pati.

Masyarakat pun telah turun ke jalan untuk menentang kenaikan tarif PBB di Kota Cirebon. Mereka menuntut supaya pemerintah membatalkan Peraturan Daerah alias Perda No.1/2024 yang menjadi dasar pengenaan PBB 1.000 persen.

Kenaikan dengan besaran yang sama juga terjadi di Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Warga membawa ratusan koin rupiah hasil dari membedah celengan untuk membayar pajak untuk memprotes lonjakan pajak PBB yang terjadi secara drastis sejak 2024.

Kabupaten Semarang juga disebut-sebut menaikan tarif PBB hingga 400 persen, meskipun kabar ini langsung dibantah oleh Pemkab Semarang. Situasi yang sama juga terjadi di Kabupaten Banyuwangi, Pj Sekda Guntur Priambodo buru-buru membantah kabar rencana kenaikan PBB 200 persen. “Tidak ada proyeksi peningkatan PAD dari objek pajak PBB yang berasal dari kenaikan tarif pada tahun 2026,” ungkapnya, Selasa (12/8/2025).

Yang jadi sorotan, kekisruhan kenaikan terjadi di saat pemerintah sedang gencar-gencarnya melakukan efisiensi anggaran. Melalui Peraturan Menteri Keuangan alias PMK No.56/2025, pemerintah akan menyasar beberapa pos anggaran dalam transfer ke daerah. Sasaran utamanya anggaran infrastruktur hingga dana otonomi khusus alias otsus.

Komentar