Pembelaan di Awang-awang untuk Palestina: Ketika Retorika tak Cukup

Pembelaan di Awang-awang untuk Palestina: Ketika Retorika tak Cukup


Masa depan Palestina menuntut lebih dari sekadar retorika. Indonesia memiliki modal politik dan moral yang besar. Sudah saatnya modal ini diterjemahkan menjadi langkah-langkah konkret dan strategis.

Dukungan terhadap Palestina seakan-akan telah menjadi DNA politik luar negeri kita. Slogan ‘Indonesia bersama Palestina’ adalah mantra yang diucapkan di setiap pidato kenegaraan. Namun, di tengah eskalasi konflik yang kian brutal, ada pertanyaan yang mengganjal: mengapa dukungan selama 80 tahun itu terasa hanya bergaung di awang-awang?

Indonesia, sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, selalu menjadi suara terdepan dalam membela Palestina. Di setiap sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau Konferensi Tingkat Tinggi Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), para diplomat kita lantang mengecam agresi Israel.  Namun, di balik retorika yang berapi-api, langkah strategis yang konkret terasa minim.

Dukungan Indonesia seolah berhenti pada level deklarasi politik. Kita tak pernah benar-benar mengorkestrasi sebuah blok solidaritas yang kuat, atau membangun aliansi ekonomi-politik yang punya daya tawar. Akibatnya, suara Indonesia, meski lantang, seringkali hanya menjadi salah satu suara di antara banyak suara lain, tanpa mampu menggerakkan perubahan signifikan di peta geopolitik.

Aksi Nyata yang Terbatas

Pemerintah Indonesia memang tak berpangku tangan. Bantuan kemanusiaan, seperti pengiriman makanan dan obat-obatan, rutin dikirim ke Gaza. Indonesia juga secara konsisten mengakui kemerdekaan Palestina dan membuka kedutaan. Namun, aksi-aksi ini, meski penting, lebih bersifat simbolis dan kemanusiaan. Mereka tidak mengubah dinamika kekuasaan yang membuat Israel terus leluasa.

Kita belum pernah melihat Indonesia memimpin sebuah inisiatif diplomatik yang berani, misalnya dengan mengancam sanksi ekonomi atau secara terbuka menantang sekutu-sekutu Israel. Langkah-langkah konfrontatif semacam itu, yang bisa menekan Israel secara nyata, seolah dihindari. Alhasil, dukungan kita, meski tulus, tak mampu membendung desakan Israel untuk terus memperluas wilayahnya.

post-cover
Sebanyak 66 personel TNI gabungan diberangkatkan untuk mengirim 800 ton bantuan kemanusiaan menuju Gaza, Palestina pada 13 Agustus 2025. (Foto: Dok. BAZNAS RI)

Tentu, ada tantangan besar di balik pilihan-pilihan diplomasi Indonesia. Konsolidasi diplomasi global tidaklah mudah. Banyak negara lain punya kepentingan berbeda. Selain itu, Indonesia sendiri tak bisa lepas dari jerat ekonomi dan investasi global. Menantang Israel secara langsung berarti berisiko berkonfrontasi dengan Amerika Serikat (AS) dan sekutu-sekutunya, yang merupakan sumber utama investasi dan perdagangan bagi Indonesia.

Di sinilah dilema itu muncul: menjaga kepentingan ekonomi atau berdiri tegak di atas prinsip moral? Selama ini, Indonesia memilih jalan aman. Kebijakan luar negeri kita terkesan enggan mengambil risiko konfrontatif demi menghindari guncangan ekonomi.

Perlu Pendekatan Baru Perjuangkan Kemerdekaan Palestina

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Prof Hikmahanto Juwana menyarankan Indonesia untuk mengubah pendekatan dalam mendukung kemerdekaan Palestina. Menurutnya, fokus diplomasi harus beralih ke isu kemanusiaan, karena hal ini terbukti lebih efektif dalam membangun dukungan global.

“Masalah kemanusiaan inilah yang kemudian membakar semangat mahasiswa-mahasiswa dan profesor-profesor Amerika Serikat mau berdiri tegak,” kata Hikmahanto.

Hikmahanto menegaskan, Indonesia tidak perlu lagi malu-malu menunjukkan keberpihakannya pada Palestina. “Amerika dan Israel sudah tahu posisi Indonesia… karena Indonesia berpihak pada rakyat Palestina, berpihak pada kemanusiaan,” ujarnya.

Ia pun mendorong Indonesia untuk terus menyuarakan isu kemanusiaan di Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB. Tujuannya adalah untuk menciptakan kesadaran global yang lebih kuat, yang pada akhirnya dapat mendorong perubahan.

post-cover
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Prof Hikmahanto Juwana. (Foto: Antara/Puspa Perwitasari)

Senada dengan Hikmahanto, pengamat geopolitik Tengku Zulkifli Usman juga menekankan perlunya pendekatan baru. Ia meyakini bahwa generasi baru akan membawa perspektif yang berbeda terhadap isu Palestina.

“Generasi baru pasti punya paradigma dan perspektif baru soal Palestina,” kata Zulkifli, seraya menambahkan bahwa isu di Palestina kini bukan lagi sekadar persoalan agama, melainkan sudah menyangkut genosida dan pelanggaran HAM berat.

Ia pun berharap pemerintahan di bawah Prabowo Subianto akan mengambil langkah yang lebih maju, tidak hanya sebagai mediator, tetapi juga sebagai pihak yang lebih kontributif.

Masa depan Palestina menuntut lebih dari sekadar retorika. Indonesia memiliki modal politik dan moral yang besar. Sudah saatnya modal ini diterjemahkan menjadi langkah-langkah konkret dan strategis.

Mandiri secara politik global berarti berani mengambil sikap, bahkan jika itu harus berkonfrontasi dengan kekuatan besar. Ini bukan tentang memilih musuh, melainkan tentang menegakkan keadilan. Sudah saatnya Indonesia tidak hanya menjadi penonton, tetapi kembali menjadi pemain yang menentukan arah, seperti di era Soekarno.

Pembelaan di awang-awang harus diakhiri. Dukungan 80 tahun terhadap Palestina kini menuntut aksi nyata di lapangan, bukan sekadar kata-kata.

 

Komentar