Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), Iwan Setiawan menilai wajar jika masyarakat marah merespons kebijakan pemerintah daerah yang menaikkan pajak secara ugal-ugalan.
Tak hanya di Pati, Jawa Tengah, masyarakatnya marah besar terhadap Bupati Sudewo yang mengerek naik pajak bumi dan bangunan (PBB) hingga 250 persen. Lebih parah lagi Pemkot Cirebon, Jawa Barat yang menaikkan PBB hingga 1.000 persen. Kenaikannya 4 kali Pemkab Pati.
“Menurut saya sih ini secara psikologis memberatkan dan membuat marah masyarakat. Kesannya pemerintah daerah ugal-ugalan sekali majakin rakyatnya. Meskipun dasarnya adalah arahan dan petunjuk dari Kemendagri dan Kemenkeu. Namun, dalam kondisi seperti saat ini sangat tidak tepat diterapkan,” tegas Iwan kepada Inilah.com di Jakarta, dikutip Minggu (17/8/2025).
Boleh saja Pemda melakukan penyesuaian atas tarif PBB, namun harus dalam koridor kewajaran. Pemda tidak boleh juga hanya bergantung kepada pajak, seperti PBB dijadikan sumber Penerimaan Asli Daerah (PAD).
“Pemerintah daerah harus cerdas dan kreatif dalam mengelola potensi daerah yang dia pimpin. Dia harus bisa mengkapitalisasi potensi apapun yang ada di daerah tersebut, sebagai nilai tambah,” ujarnya.
“Itulah sebabnya mereka dipilih oleh rakyat sebagai kepala daerah, agar bisa memberi solusi bagi permasalahan daerah yang dia pimpin. Meringankan beban masyarakat dan tidak memeras apalagi memajaki rakyat terus-menerus,” tandasnya.
Sebelumnya, ramai-ramai sejumlah daerah menaikkan PBB dengan alasan memperkuat PAD-nya. Kebijakan ini sontak menjadi sasaran protes warganya. Yang terheboh di Kabupaten Pati, warga tumpah ke jalanan menjalankan protes keras. Kericuhan berujung dengan keputusan DPRD Pati membentuk pansus pemakzulan Bupati Sudewo.
Bupati Sudewo sempat berencana menaikkan tarif PBB hingga 250 persen, alasannya untuk membiaya pembangunan di Pati. Ada dua agenda pembangunan yang menjadi prioritasnya.
“Beban kami pembangunan infrastruktur jalan, pembenahan RSUD RAA Soewondo, pertanian, perikanan, semuanya membutuhkan anggaran yang sangat tinggi,” kata Sudewo.
Kejadian yang sama terjadi di Kota Cirebon,tarif PBB naik seribu persen. Tak perlu menunggu lama, masyarakat Kota Cirebon turun ke jalan untuk menentang kebijakan tersebut. Mereka menuntut Pemkot membatalkan Peraturan Daerah (Perda) No 1/2024 yang menjadi dasar pengenaan PBB naik 1.000 persen.
Kenaikan dengan besaran yang sama juga terjadi di Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Warga membawa ratusan koin rupiah hasil dari membedah celengan untuk membayar pajak untuk memprotes lonjakan pajak PBB yang terjadi secara drastis sejak 2024.
Kabupaten Semarang juga disebut-sebut menaikkan tarif PBB hingga 400 persen, meskipun kabar ini langsung dibantah. Hal yang sama terjadi di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Penjabat (Pj) Sekda Banyuwangi, Guntur Priambodo buru-buru membantah informasi kenaikan PBB sebesar 200 persen.
“Tidak ada proyeksi peningkatan PAD dari objek pajak PBB yang berasal dari kenaikan tarif pada tahun 2026,” ungkapnya, Selasa (12/8/2025).
Sejatinya, kenaikan PBB yang memicu kekisruhan in, terkait dengan program efisiensi anggaran. Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 56/2025, pemerintah menyasar beberapa pos anggaran untuk diefisiensi-kan, yakni dana transfer ke daerah (TKD). Membuat kepala daerah mumet karena PAD-nya bakal kering.