Sidang Ekstradisi Alot, Tannos Kemungkinan Dapat Perpanjangan Penahanan dari Singapura

Sidang Ekstradisi Alot, Tannos Kemungkinan Dapat Perpanjangan Penahanan dari Singapura


Pemerintah Indonesia terus memantau jalannya sidang ekstradisi buronan kasus korupsi e-KTP, Paulus Tannos, yang berlangsung di Pengadilan Negeri Singapura.

Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM RI, Widodo, mengungkapkan hakim menolak kehadiran saksi ahli yang diajukan oleh pihak Tannos, termasuk bukti permohonan ekstradisi dari Indonesia melalui Jaksa Singapura.

“Dia (Tannos) mengajukan ahli tapi informasinya ditolak berdasarkan pemeriksaan semua termasuk dari kita (bukti yang diajukan pemerintah Indonesia),” kata Widodo saat dihubungi wartawan, Minggu (17/8/2025).

Dengan ditolaknya saksi ahli tersebut, kata Widodo, posisi Tannos menjadi lemah dan permohonan seharusnya ekstradisi Indonesia disetujui hakim. Namun, proses hukum berjalan alot lantaran pengacara Tannos tetap keberatan dan menolak kliennya diekstradisi ke Indonesia sehingga masa penahanan diperpanjang.

“Kalau ditolak kan posisi dia harusnya berada di posisi yang lemah dan harusnya menyetujui, tapi dia tetap bersikeras melalui pengacaranya tidak mau diekstradisi di Indonesia,” ujarnya.

Widodo menegaskan, Tannos dapat diekstradisi ke Indonesia setelah adanya putusan final dari hakim Singapura. Ia berharap Tannos bisa mematuhi keputusan pengadilan agar proses pemulangan dapat segera dilakukan.

“Masih lanjut. Kemungkinan dia mengalami penahanan perpanjangan. Kita berharap dia mau patuh terhadap peraturan yang ada dan mau dikembalikan ke kita,” ucapnya.

Sambil menunggu putusan hakim, lanjut Widodo, baik pemerintah Indonesia maupun pemerintah Singapura tidak bisa mengintervensi jalannya proses hukum.

“Jadi pemerintah kita dengan adanya perjanjian ekstradisi dengan Singapura sudah memberikan kuasanya kepada pemerintah Singapura, jadi kita menunggu pemerintah Singapura yang bertindak atas nama pemerintah Indonesia terus berjuang di pengadilan supaya dia dipulangkan,” tuturnya.

Sebelumnya, Pengadilan Negeri Singapura telah menjadwalkan sidang lanjutan ekstradisi Paulus Tannos pada Kamis, 7 Agustus 2025, dengan agenda pemeriksaan saksi yang diajukan tim pengacaranya. Namun, pengadilan menolak permohonan tersebut. Sidang komitmen (committal hearing) sebelumnya digelar pada 23–25 Juni 2025, dan berlangsung alot karena alasan serupa Tannos keberatan diekstradisi.

Dalam persidangan, Kejaksaan Singapura mewakili Pemerintah Indonesia sebagai pemohon ekstradisi dan menyampaikan sejumlah bukti pendukung. Sementara itu, Tannos tetap berhak mengajukan bukti untuk memperkuat keberatannya. Sidang yang dipimpin District Judge (hakim distrik) Luke Tan itu akan menentukan apakah permohonan ekstradisi terhadap Tannos dikabulkan atau ditolak.

Pada 16 Juni 2025, Pengadilan Singapura juga menolak permohonan penangguhan penahanan (bail) yang diajukan Tannos dan memerintahkan agar ia tetap ditahan hingga proses ekstradisi selesai.

Menanggapi perkembangan itu, KPK menyatakan optimisme proses ekstradisi akan berjalan lancar.

“Kami optimis ya proses ekstradisi DPO Paulus Tanos dapat berjalan dengan lancar,” kata Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (19/6/2025).

Optimisme tersebut didasarkan pada sikap tegas hakim Singapura yang menolak permohonan penangguhan penahanan dari pihak Tannos.

“Mengingat kemarin kita melihat putusan dari Pengadilan Singapura yang menolak permohonan penangguhan DPO Paulus Tanos, sehingga hari ini kemudian tetap dilakukan penahanan,” ujarnya.

Budi menambahkan, KPK terus memantau perkembangan ekstradisi melalui kerja sama lintas lembaga.

“Sejauh ini kami memantau melalui KBRI Singapura, dan tentu juga koordinasi dengan Kementerian Hukum tetap dilakukan,” imbuhnya.

Permohonan ekstradisi terhadap Tannos diajukan Pemerintah Indonesia sebelum batas waktu 45 hari, yakni pada 3 Maret 2025, setelah ia ditangkap CPIB Singapura pada 17 Januari 2025. Jika dikabulkan, Tannos segera dipulangkan ke Indonesia untuk menjalani proses hukum atas keterlibatannya dalam korupsi proyek e-KTP.

Pada 13 Agustus 2019, KPK menetapkan empat tersangka baru dalam pengembangan perkara e-KTP, yakni Paulus Tannos (Dirut PT Sandipala Arthaputra), Isnu Edhi Wijaya (Dirut Perum PNRI), Miryam S. Haryani (anggota DPR RI periode 2014–2019), dan Husni Fahmi (eks Ketua Tim Teknis TI e-KTP). Hingga kini, dua di antaranya—Tannos dan Miryam—belum ditahan. Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, menyebut penahanan Miryam akan dilakukan bersamaan dengan Tannos setelah ekstradisi selesai.

Skandal korupsi e-KTP ditaksir merugikan negara hingga Rp2,3 triliun. Paulus Tannos sempat melarikan diri ke luar negeri dengan mengganti identitas menggunakan paspor Guinea-Bissau, Afrika Barat, sebelum akhirnya ditangkap otoritas Singapura.
 

Komentar