Politik dan ekonomi merupakan dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Setiap kebijakan dagang global selalu memiliki konsekuensi langsung terhadap perekonomian nasional, bahkan hingga ke level daerah. Banten, sebagai salah satu provinsi industri utama Indonesia, kini berada di persimpangan penting: antara ketergantungan lama pada pasar Amerika Serikat dan peluang baru yang terbuka melalui kerja sama dengan Peru.
Amerika Serikat masih menjadi tujuan ekspor utama Banten. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor nonmigas Banten ke AS mencapai USD166,83 juta pada tahun 2024. Pada semester I 2025, AS bahkan tetap tercatat sebagai pasar terbesar dengan nilai ekspor mencapai USD964,69 juta. Angka ini menunjukkan betapa dominannya pasar AS dalam menopang industri ekspor Banten.
Namun, langkah pemerintahan Trump yang memberlakukan tarif resiprokal sebesar 19% terhadap produk Indonesia menimbulkan ancaman nyata. Tarif ini memang lebih rendah dibanding ancaman sebelumnya sebesar 32%, tetapi tetap menjadi beban signifikan bagi daya saing produk Indonesia. Terlebih, tarif ini membuat posisi produk Banten menjadi kurang kompetitif dibandingkan negara-negara lain yang memperoleh keringanan berbeda.
Industri padat karya di Banten, seperti alas kaki, tekstil, dan otomotif, adalah sektor yang paling rentan. Dengan beban tarif tinggi, permintaan dari AS berpotensi menurun drastis. Efek domino yang timbul antara lain penurunan produksi, ancaman pengurangan jam kerja, hingga kemungkinan pemutusan hubungan kerja. Padahal, Banten masih menghadapi tantangan serius dalam hal ketenagakerjaan. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Banten per Agustus 2024 tercatat sebagai salah satu yang tertinggi di Indonesia. Situasi ini menegaskan bahwa setiap guncangan di sektor industri akan membawa implikasi sosial-ekonomi yang luas.
Pentingnya Diversifikasi Pasar Ekspor
Ketergantungan yang tinggi pada satu pasar, apalagi pasar yang rawan kebijakan proteksionis, jelas bukan strategi yang sehat. Diversifikasi pasar ekspor adalah kunci. Banten harus segera menjajaki peluang baru untuk produk-produk unggulannya.
Data perdagangan Indonesia menunjukkan bahwa ekspor terbesar ke Peru pada 2024 meliputi mobil dan kendaraan bermotor (USD120,8 juta), alas kaki berbahan karet dan tekstil (USD21,8 juta), minyak sawit (USD21,4 juta), serta peralatan pendingin (USD16,5 juta). Menariknya, komoditas tersebut selaras dengan basis produksi industri di Banten yang kuat pada sektor otomotif, alas kaki, dan produk manufaktur.
Dengan adanya Indonesia–Peru Comprehensive Economic Partnership Agreement (IP-CEPA) yang ditandatangani pada 11 Agustus 2025, peluang semakin terbuka. Perjanjian ini memungkinkan produk-produk Indonesia masuk ke pasar Peru dengan tarif preferensial, bahkan nol persen untuk sejumlah komoditas. Sebaliknya, Peru mendapatkan akses untuk mengekspor produk unggulannya, seperti kakao, blueberry, alpukat, kopi, dan seng, ke pasar Indonesia. Bagi Banten, hal ini adalah jalan baru untuk mengalihkan sebagian ekspornya dari AS ke pasar Amerika Latin.
Sinyal Politik: Banten dalam Pusaran Diplomasi Ekonomi
Momentum kedatangan Presiden Peru, Dina Boluarte, ke Indonesia pada Agustus 2025 memberi pesan politik yang tak bisa diabaikan. Ia disambut langsung oleh Menteri Perdagangan Budi Santoso serta Gubernur Banten, Andra Soni, di Bandara Soekarno-Hatta. Kehadiran gubernur dalam protokol kenegaraan di level internasional jarang terjadi, sehingga ini dapat dibaca sebagai sinyal politik bahwa Banten diproyeksikan memainkan peranan strategis dalam hubungan dagang Indonesia–Peru.
Banten memiliki keunggulan geografis dan infrastruktur yang mendukung. Dengan posisi dekat Pelabuhan Tanjung Priok dan Cilegon sebagai kawasan industri berat, Banten siap menjadi hub ekspor ke Amerika Latin. Tidak hanya itu, Banten memiliki basis industri padat karya yang memproduksi barang-barang sesuai kebutuhan pasar Peru, mulai dari alas kaki hingga otomotif.
Kehadiran Gubernur Andra Soni dalam agenda kenegaraan ini bisa dimaknai sebagai simbol bahwa pemerintah pusat memberi ruang bagi Banten untuk tampil di panggung perdagangan internasional. Bagi pelaku usaha, ini adalah sinyal positif yang harus segera direspons dengan memperluas jaringan dagang ke Peru.
Menatap Peluang dan Tantangan
Kehadiran CEPA memberi peluang emas, tetapi juga menuntut kesiapan. Tantangannya adalah bagaimana Banten dapat memastikan bahwa produk-produknya memenuhi standar kualitas, logistik, dan preferensi konsumen di Peru. Perbedaan jarak geografis memang menjadi hambatan, namun dapat diatasi dengan optimalisasi jalur laut melalui Panama atau Chili sebagai transit.
Di sisi lain, perlu strategi promosi yang lebih agresif. Pameran dagang, business matching, dan kerja sama B2B harus segera diintensifkan. Pemerintah daerah bersama pelaku usaha perlu membentuk forum khusus yang mengawal implementasi CEPA agar benar-benar memberikan manfaat nyata bagi industri lokal Banten.
Penutup
Banten tengah berada pada titik krusial. Ketergantungan pada pasar Amerika Serikat menghadirkan risiko besar di tengah kebijakan proteksionis. Namun, hadirnya kesepakatan perdagangan dengan Peru sekaligus menjadi peluang berharga untuk mendiversifikasi pasar ekspor. Kehadiran Gubernur Andra Soni dalam menyambut Presiden Peru adalah simbol kuat bahwa Banten diproyeksikan sebagai pemain utama dalam strategi perdagangan baru Indonesia di Amerika Latin.
Jika momentum ini dimanfaatkan dengan tepat, Banten bukan hanya sekadar penyangga industri nasional, tetapi bisa menjadi pemain utama ekspor Indonesia ke Amerika Latin. Inilah saatnya Banten meneguhkan diri sebagai provinsi strategis dalam diplomasi ekonomi global.